MALUKU SATU DARAH

Rabu, 29 Desember 2010

Review Pelecehan Islam di IAIN

Sabili.co.id - Seorang dosen Fakultas Dakwah IAIN Supel menyebut al-Qur’an sebagai mahluk. Ia juga menginjak-injak lafadz Allah di hadapan para mahasiswa. Heboh. Bagaimana di perguruan tinggi Islam lainnya?

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel (Supel), Surabaya, Jawa Timur, 6 Mei 2006. Perkuliahan di Fakultas Dakwah berlangsung. Sulhawi Ruba, dosen Sejarah Peradaban Islam (SPI) menyampaikan kuliahnya di depan para mahasiswa semester dua Fakultas Dakwah. Di saat yang sama, perkuliahan juga berlangsung di sejumlah fakultas di kampus Islam kebanggaan arek-arek Suroboyo itu. Seperti biasanya, proses transfer ilmu di IAIN Supel berjalan tertib dan tenang.

Namun ketenangan proses belajar-mengajar itu pecah oleh ulah tidak pantas Sulhawi Ruba. Di hadapan para mahasiswa/inya, dosen SPI yang tidak fasih membaca “kitab kuning” itu, mengatakan bahwa al-Qur’an, kitab suci orang Islam sebagai mahluk. Sama seperti mahluk ciptaan Allah SWT lainnya, seperti rumput, harimau dan lainnya. “Al-Qur’an itu hasil kebudayaan manusia,” kata laki-laki yang mengaku diri penganut paham liberal itu.

Tak cukup menyebut al-Qur’an sebagai mahluk. Dosen yang sering menyebut dirinya dengan syekh (sebutan orang untuk para ulama dan pemikir Islam –red) ini, menginjak-injak lafadz Allah yang ditulisnya sendiri di atas secarik kertas kemudian dibuangnya ke lantai. “Niat saya untuk keilmuan. Saya lakukan itu untuk memberikan pemahaman kepada para mahasiswa agar tidak syirik,” tandasnya, tanpa ada rasa takut sedikit pun akan protes umat Islam.

Penghinaan di atas seakan belum cukup buat Ruba. Ketika sejumlah mahasiswa protes, sikap dosen yang diragukan kemampuan agamanya ini malah makin menjadi-jadi. Menurutnya, sah saja menginjak-injak lafadz Allah, seperti menginjak rumput. “Karena al-Qur’an itu mahluk dan hasil budaya manusia, maka ketika menginjak lafadz Allah, sama seperti saya menginjak mahluk Allah lainnya,” ujar lelaki yang mengaku sealiran dengan grup band Dewa ini.

Sikap nyeleneh Ruba tersebut sempat membuat heboh suasana perkuliahan di kelas. Karena tidak senang mendengar dan melihat Ruba melecehkan Allah SWT dan Islam, sejumlah mahasiswi tak kuat menahan tangis. Yang lain, sambil menangis sejadi-jadinya, bergegas keluar meninggalkan perkuliahan. “Terus terang, hati saya sakit mendengar Allah dan Islam dilecehkan. Sambil menahan tangis, saya keluar dan menangis sejadi-jadinya,” tutur salah seorang mahasiswi, mengenang kejadian yang tidak pantas tersebut.

Kejadian yang menyayat hati umat ini bemula ketika Ruba memberi kuliah tentang iqra (bacalah) kepada para mahasiswa semester dua Fakultas Dakwah. Awalnya, perkuliahan berjalan baik, apalagi Ruba menyampaikan materinya diselingi dengan humor.

Penyimpangan terjadi saat Ruba mengatakan bahwa al-Qur’an adalah mahluk. Dengan maksud memperjelas pandangannya tersebut, ia meminta lembaran kertas kepada seorang mahasiswi dan menuliskan lafadz Allah dengan huruf Arab di atas kertas tersebut.

Sejurus kemudian, Ruba membuang lembaran kertas yang tertulis lafadz Allah tersebut ke lantai dan langsung menginjak-injak dengan sepatunya. Nah, jadilah kasus pelecehan al-Qur’an oleh oknum dosen IAIN Supel ini, heboh.

Ruba sendiri tidak terlalu mengkhawatirkan pandangan dan perbuatannya tersebut. Ia mengatakan, pendapatnya ini dalam konteks akademis. Seperti yang dikemukakannya kepada SABILI saat mewawancarai dosen SPI ini di kampus IAIN Supel, Surabaya, Jatim beberapa waktu lalu.

“Saya ingin memberikan pemahaman kepada mahasiswa apa itu kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Tulisan Allah, alif lam ha, adalah budaya. Kemudian saya tulis di atas kertas dengan tulisan lafadz Allah. Ini bukan Allah. Jangan didewakan. Untuk apa? Maksud saya supaya tidak syirik,” paparnya, memberi alasan.

Ia menambahkan, “Karena itu, ketika saya demo menginjak-injak lafadz Allah harus dilihat niatnya. Kalau niatnya pelecehan, harus dibunuh. Tapi, niat saya adalah kelilmuan. Saya ingin memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar tidak jatuh pada kesyirikan.”

Tak ayal pandangan nyeleneh dan aksi menginjak-injak lafadz Allah tersebut memantikkan kemarahan kaum Muslimin. Gelombang protes akan aksi tak pantas tersebut datang dari alim-ulama, tokoh masyarakat, kalangan akademisi dan masyarakat.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin berpendapat menginjak-injak lafadz Allah sama saja dengan menginjak-injak al-Quran. Karena itu dia mengatakan, tindakan Ruba tersebut merupakan penodaan dan penghinaan terhadap al-Qur’an. “Jangan menginjak-injak al-Qur’an. Para ulama tidak akan rela ada al-Qur’an diinjak-injak,” kata ulama yang dikenal tegas pada paham sekular, plural dan liberal ini.

Ia juga mengatakan akan mengusut tuntas kasus ini. Kiai Ma’ruf akan meminta MUI Jawa Timur untuk meneliti kasus ini dan segera melaporkannya ke MUI Pusat. “Paham seperti ini tidak bisa dibiarkan, apalagi ada penodaan agama. Kita sepakat dalam kebebasan tidak boleh ada penodaan agama,” ujarnya.

Pandangan tak kalah kerasnya datang dari Ketua FUUI KH. Athian Ali M. Da’i. Tokoh Islam asal Bandung ini mengatakan, orang yang menginjak-injak lafadz Allah itu telah dikatakan kafir karena murtad dari keyakinannya. “Di negara Islam orang seperti ini harus dipancung, baik karena kemurtadannya juga karena ajakannya agar orang tidak mengakui adanya Allah,” tegas tokoh Islam yang pernah memberi fatwa mati untuk Ulil Abshar Abdalla itu.

Athian juga menyayangkan sikap tak tegas pemerintah terhadap kasus-kasus pelecehan Islam selama ini. Sehingga, lanjutnya, menyebabkan para pengasong paham nyeleneh itu menjadi leluasa dan berani menyatakan pemikiran dan tingkah lakunya yang tidak sejalan dengan aturan Islam. “Tak ada sanksi yang membuat mereka jera,” tambahnya.

Pandangan senada dikemukakan Peneliti LPPI Hartono A Jaiz. Penulis buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia ini menyatakan, kasus menginjak-injak lafadz Allah merupakan pelecehan ayat-ayat Allah. Menurut ulama, jika orang itu tidak segera bertaubat, maka hukumannya dibunuh.

“Kalau pelecehannya kepada Nabi Muhammad tidak usah diminta taubat, tapi langsung dibunuh. Namun jika menghina ayat-ayat Allah, maka diminta taubat terlebih dahulu. Jika tidak mau bertaubat, maka hukumannya adalah dibunuh. Karena prosedur hukum mati sulit dijalankan, maka diajukan ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama,” tegasnya.

Protes keras juga datang dari institusi tempat Ruba mengais rejeki, IAIN Supel sendiri. Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah Supel Sunarto menyatakan, Sulhawi tidak layak menginjak-injak lafadz Allah, apalagi di depan mahasiswa. Meski hanya simbol, sambung Sunarto, namun seharusnya ia tahu bahwa lafadz Allah itu adalah simbol zat Yang Maha Kuasa.

“Kalau ia punya prinsip seperti itu, ya yakini sendiri saja, jangan didemonstrasikan di depan mahasiswa. Ini kan institusi Islam, sangat tidak layak melakukan penginjakan lafadz Allah. Saya kira dia harus mempertimbangkan apa yang dia diperbuat. Kalau ada yang sekadar protes, masih untung. Tapi kalau ada yang pakai cara lain, bagaimana?” Ia juga mengatakan akan menggalang dukungan di internal kampus untuk melakukan peneguran kepada Ruba.

Protes yang sama juga datang dari Guru Besar IAIN Supel Prof. Dr. Syechul Hadi Purnomo. Dewan Penasihat MUI Surabaya ini menyatakan, tindakan Ruba tersebut bukan lagi tindakan bodoh, tapi penghinaan terhadap Islam. “Ini semakin besar karena dilakukan di hadapan para mahasiswa,” ujarnya.

Dewan Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur ini juga menyatakan bahwa tindakan dosen SPI itu sama dengan penghinaan Islam yang dilakukan mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati (SGD), Bandung pada tahun 2004 yang menyebut “Selamat datang di area bebas tuhan.” “Mereka sudah kufur dan murtad,” tegasnya.

Mahasiswa UIN SGD ketika itu memasang spanduk bertuliskan, “Selamat datang di area bebas tuhan.” Di hadapan mahasiswa baru, para pengecer SEPILIS itu juga mengajak mahasiswa baru untuk berdzikir dengan ucapan “Anjing hu akbar.” Kejadian yang direkam baik dalam bentuk VCD itu juga merekam pembicaraan salah seorang di antaranya yang mengatakan, “Allah kita telah mati.”

Saat ini, para pengasong SEPILIS (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) mulai unjuk gigi di IAIN Supel, Surabaya. Mereka protes keras saat pihak rektorat mengeluarkan kebijakan kode etik mahasiswa IAIN Supel yang salah satu poinnya memuat kewajiban memakai pakaian Muslimah atau jilbab di bawah lutut.

Mereka juga giat melakukan propaganda dengan membuat buletin, seminar, kajian dan diskusi yang mengusung ide SEPILIS. Tapi, gerakan mereka belum terlalu menyebar dan separah seperti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Hal ini dikarenakan para dosen yang lurus masih dapat mengimbangi para pengasong SEPILIS tersebut. Meski demikian, mereka berusaha merintis dan membangun gerakannya agar cepat atau lambat IAIN Supel akan seperti di UIN Jakarta.

Cerita pelecehan Islam ternyata tak hanya “monopoli” IAIN Supel, Surabaya saja. Di sejumlah perguruan tinggi Islam itu juga mengemuka kasus-kasus penodaan Islam seperti itu. Misalnya seperti kejadian di UIN Sunan Gunung Djati (SGD), Bandung, Jawa Barat, para pengasong SEPILIS juga gencar mengampanyekan ide-idenya.

Mereka juga bergerak dalam tataran wacana. Beberapa waktu lalu misalnya, mereka menggelar seminar tentang pembelaan terhadap Ahmadiyah dan pemikiran liberal. Meskipun belakangan, mereka tidak terlalu berani dan vulgar melontarkan berbagai pemikiran SEPILIS karena banyak counter dari mahasiswa lainnya. “Mereka pikir dua kali untuk berkoar secara vulgar saat ini,” kata sumber SABILI yang minta tak disebutkan identitasnya.

Kini, mereka menjalankan trik baru dengan mengusung budaya hedonisme yang tentu saja bertolak belakang dengan niai-nilai Islam. Akibatnya muncul sikap-sikap tidak islami, seperti budaya pergaulan bebas, pemakaian obat-obatan terlarang.

Mereka pernah juga mengadakan festival band yang di dalamnya dibumbui perkelahian antar peserta dan panitia. Parahnya, pada tahun 2005 lalu, mereka pernah mengadakan lomba kecantikan bencong yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan persoalan akademik.

Praktik-praktik seperti ini mendapat respon serius dari Direktur Pascasarjana UIN SGD, Bandung Dr. Afif Muhammad. Ia tak memungkiri ada pemikiran nyeleneh di kampusnya, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. “Tidak bisa digeneralisir sebab banyak juga mahasiswa yang baik. Mereka mengembangkan pemikiran Islam, seperti TPA dan TQA,” ujarnya.

Ia menambahkan, saat ini kampusnya sedang melakukan sejumlah revisi kurikulum yang ada dan melakukan berbagai pengawasan untuk mengembalikan tatanan ilmu kepada nilai-nilai Islam sebenarnya. “Kita berusaha menjadikan UIN lebih baik. Selain itu harus dilihat bahwa IAIN tidak sedikit memberikan kontribusi positif bagi masyarakat,” ujarnya.

DI UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta lain lagi ceritanya. Di sini, berpikiran nyeleneh bukanlah barang baru. Bahkan, boleh dibilang UIN Jakarta menjadi contoh bagi IAIN lainnya dalam hal berpikir nyeleneh ini. Sejumlah oknum dosen dan mahasiswanya sering melontarkan pandangan SEPILIS. Misalnya, mereka menyebut semua agama sama. Ada juga yang mengatakan bahwa Budha, Hindu termasuk agama samawi.

Padahal, ini bertentangan dengan konsep Islam yang dibawa para nabi. Agama yang dibawa para nabi, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad hanya satu, yaitu Islam. Mereka membawa satu risalah Allah, yaitu Islam.

Tak sebatas melontarkan persamaan semua agama. Wacana mengkritisi (membongkar—red) al-Qur’an juga mencuat ke permukaan. Mereka menyebut, al-Qur’an wajib dikritisi dan ditafsir ulang untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Itulah sebabnya, tidak sedikit buku yang tujuannya membongkar al-Qur’an bermunculan dari perguruan tinggi Islam ini.

Fenomena maraknya pemikiran SEPILIS di UIN Jakarta ini mendapat tanggapan dari pihak rektorat. Pembantu Rektor IV Bidang Pengembangan Lembaga Prof. Dr. Suwito membantah jika institusinya mengembangkan studi pengkritisi (revisi--red) al-Qur’an. “UIN tak mengajarkan seperti itu.

Meski demikian, Suwito tak membantah jika di UIN Jakarta diperkenalkan berbagai pendapat aliran dalam Islam, seperti Jabariyah, Mu’tazilah, Qodariyah dan lainnya. Ia juga tidak mengelak jika terjadi diskusi karena perbedaan pandangan tersebut. “Itu jalan memperoleh kebenaran. Jadi, jangan disimpulkan bahwa diskusi-diskusi itu merupakan keputusan final,” ujarnya.

Sependapat dengan pandangan sejumlah tokoh Islam bahwa UIN, IAIN atau STAIN adalah aset bangsa. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius oleh semua pihak, baik dari internal maupun ekstral mereka untuk menyelamatkan perguruan tinggi Islam ini dari berbagai “virus” yang mematikan, seperti paham SEPILIS dan sejenisnya.

UIN, IAIN dan STAIN harus dikembalikan ke khittahnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang nantinya menelurkan para sarjana yang tidak hanya berwacana saja. Tapi benar-benar sarjana yang menghayati nilai-nilai Islam yang sesuai tuntutan Nabi Muhammad saw untuk kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya ke masyarakat.

Posting Terkait





Artikel Terkait:

Views

Tidak ada komentar:

Posting Komentar