MALUKU SATU DARAH

Senin, 31 Januari 2011

BUDAYA MALUKU

Upacara kehamilan Pada Suku Naulu

1. Pengantar
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang ada di Provinsi Maluku, Indonesia. Mereka mendiami salah satu pulau yang tergabung dalam provinsi tersebut, yaitu Pulau Seram yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Di kalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa kandungan seseorang apabila telah mencapai usia sembilan bulan.

Kehamilan bagi masyarakat Nuaulu dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara. Upacara baru diadakan pada usia kandungan telah mencapai sembilan bulan karena masyarakat Nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai 9 bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib. Bukan saja bagi dirinya sendiri dan anak yang dikandungnya, tetapi juga orang lain di sekitarnya, khususnya kaum laki-laki. Dan, untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno.

Selain itu mereka juga beranggapan bahwa pada hakekatnya kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. jadi dalam hal ini (masa kehamilan 1-8 bulan) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.

2. Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Penyelenggaraan upacara kehamilan diadakan ketika usia kandungan seorang perempuan telah mencapai sembilan bulan. Patokan yang dipakai untuk mengetahui usia kandungan seorang perempuan adalah dengan meraba bagian perut perempuan tersebut yang dilakukan oleh dukun beranak (irihitipue). Apabila irihitipue menyatakan bahwa usia kandungan perempuan tersebut telah mencapai 9 bulan, maka ia akan mengisyaratkan kepada seluruh perempuan dewasa anggota kerabat perempuan tersebut untuk segera mempersiapkan perlengkapan, peralatan dan bermusyawarah untuk menentukan waktu penyelenggaraan upacara (dapat pagi, siang atau sore hari). Musyawarah penentuan hari oleh perempuan dewasa anggota kerabat perempuan yang sedang mengandung itu dinamakan mawe. Jadi, penentuan kapan akan dilaksanakan upacara kehamilan tergantung dari hasil mawe tersebut. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan tidak boleh dilaksanakan pada malam, karena malam hari dianggap saat-saat bergentayangan berbagai jenis roh jahat yang dapat menyusup ke tubuh ibu maupun sang jabang bayinya, sehingga bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (buruk) pada anak yang bersangkutan. Sedangkan tempat pelaksanaan upacara kehamilan sembilan bulan dilakukan di rumah perempuan yang sedang mengandung dan di posuno.

Penyelenggaran upacara kehamilan sembilan bulan melibatkan di dalamnya pemimpin upacara dan peserta upacara. Pemimpin upacara adalah irihitipue (dukun beranak). Irihitipue adalah suatu gelar khusus bagi seorang perempuan yang bertugas membantu dalam proses melahirkan. Dengan kata lain, irihitipue dapat disebut sebagai bidan tradisional atau dukun bayi. Selain sebagai dukun, irihitipue juga dianggap sebagai orang yang berpengetahuan tentang hal-hal gaib yang berkisar di sekitar dunia roh. Oleh karena itu, dia biberi hak dan tanggung sebagai penyelenggara teknis upacara bagi perempuan, baik upacara haid pertama, kehamilan, maupun upacara setelah melahirkan.

Sedangkan peserta upacara adalah para perempuan dewasa dari soa (kelompok kerabat) perempuan yang hamil dan suaminya. Mereka akan mengikuti prosesi upacara, baik di rumah maupun di posuno. Selain itu mereka jugalah yang menyediakan segala perlengkapan, menentukan waktu akan dilangsungkannya upacara dan sebagai saksi pelaksanaan upacara.

3. Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara kehamilan pada suku bangsa Nuaulu hanyalah sebuah posuno. Posuno adalah bangunan yang dibuat khusus untuk pelaksanaan upacara yang didirikan di tengah-tengah hutan. Tujuan dari pendirian bangunan tersebut adalah untuk pengasingan bagi kaum perempuan apabila akan melahirkan dan bagi perempuan yang sedang haid. Kaum laki-laki tidak boleh mendekati bangunan ini. Hal itu disebabkan adanya kepercayaan bahwa jika ada laki-laki yang mendekatinya, maka laki-laki tersebut akan dihinggapi oleh kekuatan gaib yang bersifat destruktif.

4. Jalannya Upacara
Ketika seorang perempuan yang masa kehamilannya telah mencapai 9 bulan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah dewasa menuju ke posuno. Pada waktu perempuan tersebut berada di depan pintu posuno, irihitipue membancakan mantra-mantra yang berfungsi sebagai penolak bala. Mantra tersebut dibaca oleh irihitipue dalam hati (tanpa bersuara) dengan tujuan agar tidak dapat diketahui oleh orang lain, karena bersifat sangat rahasia. Hanya irihitipue dan anggota keluarga intinya saja yang mengetahui mantra tersebut.

Selesai membaca mantra, perempuan hamil tersebut diantar masuk ke dalam posuno. Rombongan kemudian pulang meninggalkan wanita tersebut. Dia setiap saat dikunjungi oleh irihitipue untuk memeriksa keadaan dirinya. Semua keperluan wanita hamil ini dilayani oleh wanita-wanita kerabatnya. Sebagai catatan, dia akan tetap berdiam disitu tidak hanya sampai selesainya upacara kehamilan 9 bulan, tetapi sampai tiba saat melahirkan hingga 40 hari setelah melahirkan.

Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa) perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya untuk berkumpul di rumah perempuan tersebut dan selanjutnya pergi menuju ke posuno untuk mengikuti upacara masa hamil sembilan bulan. Sebelum mereka menuju ke posuno, para perempuan dewasa tersebut akan berkumpul berkeliling di dalam rumah untuk memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana agar si perempuan yang sedang hamil selalu dilindungi dan terbebas dari pengaruh roh-roh jahat.

Usai memanjatkan doa di dalam rumah, mereka menuju ke posuno bersama-sama dan dipimpin oleh irihitipue. Setelah sampai di posuno, mereka kemudian duduk mengelilingi si perempuan hamil tersebut, sedangkan irihitipue mendekati si perempuan dan duduk di sampingnya. Perempuan hamil tersebut kemudian dibaringkan oleh irihitipue lalu diusap-usap perutnya sambil irihitipue mengucapkan mantra-mantra yang tujuannya adalah untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Upu Kuanahatana. Pada saat irihitipue mengusap-usap perut perempuan hamil tersebut, para kerabatnya yang duduk mengelilingi pun juga memanjatkan doa-doda kepada upu kuanahatana.

Dengan selesainya pembacaan mantra, maka selesailah pula pelaksanaan upacara masa kehamilan sembilan bulan. Para kerabat dan irihitipue kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sementara si perempuan hamil tetap tinggal di posuno hingga melahirkan dan 40 hari setelah masa melahirkan. Untuk keperluan makan dan minum selama berhari-hari di posuno, pihak kerabatnya sendiri (soanya) akan selalu mengantarkan makanan dan minuman kepadanya.

5. Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara masa kehamilan sembilan bulan. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong-royong, keselamatan, dan religius.

Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga dan masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta suu anaku) untuk makan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman bagi perempuan yang hamil dan menjadi pemimpin upacara.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa pada masa usia kehamilan yang telah mencapai sembilan bulan adalah masa yang dianggap kritis bagi seorang perempuan, karena pada masa inilah ia dan bayi yang dikandungkan rentan terhadap bahaya-bahaya gaib yang berasal dari roh-roh jahat yang dapat berakibat buruk pada keselamatan dirinya sendiri maupun bayinya. Untuk mengatasi gangguan-gangguan roh-roh halus tersebut, maka perlu diadakan suatu upacara untuk mencari keselamatan keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat perempuan, baik sebelum berangkat ke posuno maupun pada saat berlangsungnya upacara. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur.

 Upacara PInamao Pada suku Nauli

Pengantar
Nuaulu adalah salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Maluku, Indonesia. Di kalangan mereka ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran individu), khususnya upacara masa peralihan bagi seorang perempuan dari masa anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan kedatang-bulanannya (menstruasi) yang pertama. Tradisi ini oleh mereka disebut sebagai “Pinamuo” yang dalam bahasa Indonesia berarti “gadis bisu”. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa upacara itu hanya ditujukan kepada perempuan yang menyandang tunarungu, melainkan suatu penyebutan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh perempuan yang diupacarai. Dalam hal ini, ketika prosesi berlangsung, perempuan yang sedang menjalani upacara tidak diperbolehkan mengeluarkan sepatah kata pun. Keadaan itu menyerupai gadis yang bisu. Oleh karena itu, upacara ini disebut sebagai pinamou. Upacara yang sama, tetapi untuk laki-laki (lihat Upacara Rujena).

Seorang perempuan yang telah melalui upacara ini berarti sudah dianggap sebagai orang dewasa (bukan kanak-kanak lagi) dan karenanya yang bersangkutan diperbolehkan untuk membentuk sebuah keluarga. Dengan upacara ini juga, yang bersangkutan pada gilirannya mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Sebagaimana upacara pada umunya, upacara pinamou ini juga dilakukan secara bertahap. Lamanya bergantung pada penyelesaian setiap tahapnya. Jadi, bisa satu minggu atau lebih. Bahkan, lebih dari satu bulan. Tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) memasukkan si gadis ke dalam posuno/tikosuno; (2) meratakan gigi (papar gigi); (3) pelumuran wajah dan badan dengan becek (balabor peci); (4) membersihkan diri (karisa pinamou); (5) pemberian pakaian dan suguhan sirih- pinang (apapua); (6) pesta pinamou; dan (7) pemandian terakhir. Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan dari pagi sampai sore hari (sebelum terbenamnya matahari), kecuali acara pesta pinamou yang biasanya diselenggarakan pada malam hari. Sebagian besar tahapan upacara tidak boleh dilaksanakan pada malam hari karena dipercaya roh-roh jahat akan bergentayangan dan berakibat buruk bagi diri si gadis (pinamou) dan para laki-laki yang ada di dalam negeri (desa).

Tempat pelaksanaan upacara pinamou tergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh si gadis. Untuk prosesi papar gigi dan pelumuran dengan becek diadakan di dalam posune/tikosune. Upacara kirasa pinamou diadakan di hutan dekat dengan hulu sungai (di daerah Nuaulu ada sebuah sungai yang bernama Sungai You). Apapua dan pesta pinamou diadakan di rumah soa dari kerabat ibu si gadis. Sedangkan, pemandian terakhir diadakan di Sungai You (bukan di hulu sungai, melainkan di suatu tempat yang jaraknya tidak jauh dari tempat kediaman si gadis).

Pemimpin upacara bergantung dari tahapan-tahapan yang ada dalam upacara pinamou, diantaranya adalah: (1) saudara perempuan ibu (kakak perempuan ibu) yang akan memimpin prosesi memasukkan anak perempuan ke dalam posuno/tikosuno; (2) seorang dukun desa perempuan yang akan memimpin prosesi papar gigi; (3) isteri kepala soa pihak ibu yang akan memimpin prosesi karisa pinamou atau pemberian pakaian serta perhiasan pada si gadis; dan (4) isteri dari penjaga rumah soa kelompok kerabat dari pihak ibu (jou onate) yang akan memimpin prosesi apapua atau penyuguhan sirih-pinang dan penyuapan beberapa jenis makanan.

Selain keluarga dan para pemimpin upacara, pihak-pihak yang terlibat dalam upacara pinamou adalah anggota kelompok kerabat dari pihak ayah dan ibu si gadis dan warga masyarakat beserta tokoh-tokoh adatnya. Keterlibatan para anggota kelompok kerabat adalah sebagai pelaksana kegiatan upacara dan penyedia bahan-bahan makanan untuk pesta pinamou. Sedangkan, warga masyarakat dan juga tokoh-tokoh adat terlibat dalam acara pesta pinamou. Pesta adat yang diadakan dalam upacara pinamou merupakan pernyataan bahwa di dalam masyarakat telah bertambah seorang perempuan dewasa yang telah siap untuk berumah tangga.

Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara pinamou ini adalah: (1) posuno/tikosune, yaitu sebuah bangunan khusus yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat pengasingan sementara bagi perempuan yang sedang haid, tetapi juga sebagai tempat pelaksanaan upacara; (2) arang untuk melabur wajah dan tubuh sebelum memasuki posuno; (3) sebuah batu kali (koral) yang digunakan untuk menggosok gigi Si gadis agar menjadi rata dalam prosesi papar gigi; (4) becek untuk melumuri wajah dan tubuh sebelum dibawa ke Sungai You; (5) 10 ruas bambu yang diisi air yang akan digunakan untuk memandikan Si gadis pada acara membersihkan diri (karisa pinamou); (6) kunyit dan minyak kelapa untuk mengoleskan tubuh Si gadis setelah dimandikan (7) daun sirih; (8) kain sebagai pakaian Si gadis; dan (9) manik-manik yang digunakan sebagai perhiasan. Sedangkan, peralatan yang perlu disiapkan dalam pesta pinamou adalah beberapa jenis makanan yang dibuat dari sagu (tutupola, alu-alu, sagu tumbu, dan papeda), daging babi dan kusu (kus-kus), buah pisang, air putih dan teh.

Jalannya Upacara
Ketika seorang perempuan mengetahui bahwa ia telah mendapat haid untuk pertama kalinya (nibae hitae), maka ia segera memberitahukan hal itu kepada salah seorang keluarganya yang perempuan (perempuan dewasa) atau langsung kepada ibunya. Setelah itu, ia akan melarikan diri dan bersembunyi di semak-semak yang ada di sekitar rumahnya. Perempuan yang tadi telah diberitahu oleh Si gadis, kemudian akan mengumpulkan seluruh perempuan anggota kerabat dari pihak ibu Si gadis untuk secara bersama-sama membersihkan posuno yang pada gilirannya dijadikan sebagai tempat pengasingan sementara bagi Si gadis. Posuno sebenarnya bukan hanya tempat untuk perempuan yang baru pertama kali haid, melainkan juga untuk seluruh perempuan Nuaulu yang sedang haid. Letak posuno biasanya berada di dalam hutan yang agak jauh dari desa. Daerah di sekitar posuno tersebut adalah daerah terlarang bagi kaum pria karena dianggap mengandung banyak kekuatan gaib yang bersifat destruktif. Kekuatan gaib yang destruktif itu disebabkan oleh darah yang dikeluarkan oleh perempuan selama masa haidnya. Itulah sebabnya mengapa isteri seorang pria Nuaulu ketika mendapat haid atau telah dekat waktunya untuk melahirkan harus diasingkan dari rumah tempat kediamannya ke posuno.

Setelah posuno siap digunakan, rombongan kerabat yang dipimpin oleh kakak perempuan ibu akan menuju ke semak-semak tempat persembunyian. Sebelum dibawa berjalan meninggalkan semak-semak menuju ke posuno, pemimpin rombongan melaburi seluruh wajah dan badan gadis tersebut dengan arang. Tujuan dari pelaburan tersebut adalah agar Si gadis terhindar dari pengaruh roh-roh jahat yang dapat merasuki dirinya. Dalam perjalanan ke posuno, Si gadis sedapat mungkin tidak berpapasan dengan seorang pria karena dapat berakibat buruk bagi pria tersebut.


Begitu sampai di depan pintu posuno, kakak perempuan ibu membuat semacam api unggun kecil (hamasa). Tujuannya adalah sebagai tanda permulaan masa kedewasaan Sang gadis. Api mempunyai arti dan peranan penting dalam kehidupan perempuan Nuaulu, khususnya bagi kaum perempuan yaitu untuk mengolah semua hasil yang diperoleh suami menjadi makanan. Setelah hamasa padam, Si gadis kemudian dibimbing dan diantarkan masuk ke dalam posuno. Selama berada dalam posuno Si gadis harus mematuhi beberapa aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu: (1) harus memakan makanan yang diolah dengan cara dibakar; (2) harus meminum air yang telah direbus dalam periuk yang terbuat dari tanah liat (seluruh makanan dan minuman tersebut dipersiapkan oleh ibu dan saudara-saudara perempuan ibu); (3) tidak diperkenankan berada di luar, kecuali bila hendak diupacarakan; (3) sebelum semua persiapan di posuno tersedia, Si gadis tidak diperkenankan meninggalkannya, walaupun masa haidnya telah lama berakhir.

Dalam mengisi waktu-waktu luangnya di posuno, biasanya si gadis akan membuat bakul-bakul dari anyaman nyiru yang nantinya akan digunakan sebagai tempat meletakkan makanan pada acara pesta pinamou. Bakul-bakul tersebut juga digunakan untuk membuktikan bahwa Si gadis telah mencapai tingkat kedewasaan secara fisik dan mental, dan dapat membentuk sebuah rumah tangga.

Setelah Si gadis berada dalam posuno, barulah seluruh anggota kelompok kerabat dari ayah dan kerabat laki-laki pihak ibu si gadis diberitahukan. Pemberitahuan kepada seluruh kerabat perlu dilakukan karena mereka inilah yang akan mempersiapkan bahan-bahan makanan yang diperlukan dalam pesta pinamou. Kaum pria dari kerabat ayah dan ibu akan pergi ke hutan untuk berburu babi hutan dan kusu (kuskus). Sedangkan, kaum perempuan yang berasal dari kerabat ayah akan mengumpulkan sagu dan memetik buah pisang. Bahan-bahan makanan tersebut pada saatnya akan diolah menjadi jenis-jenis makanan tertentu. Yang lazim disajikan adalah tutupola, alu-alu, papeda (diolah dari tepung sagu), pisang masak serta daging babi dan kusu (hasil perburuan). Untuk mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan tersebut memerlukan waktu yang lama, sehingga mempengaruhi lamanya proses upacara pinamou bagi seorang gadis.

Selain anggota kerabat, pemberitahuan mengenai akan diadakannya upacara pinamou juga dilakukan kepada para dukun desa dan tokoh-tokoh adat setempat. Pemberitahuan kepada para dukun, terutama dukun perempuan, dilakukan oleh ibu pinomau (Si gadis) agar para dukun tersebut bersedia menetapkan waktu yang dianggap baik bagi pelaksanaan upacara dan menjadi pemimpin pada beberapa tahapan upacara. Sedangkan para tokoh adat diberitahukan agar mereka menghadiri acara pesta pinamou dan sebagian juga menjadi pemimpin pada beberapa tahapan upacara pinamou.

Upacara diawali dengan pelaksanaan papar gigi atau meratakan gigi, yang dipimpin oleh seorang dukun perempun dan disaksikan oleh kerabat perempuan dari pihak ibu dan ayah di dalam posuno. Dalam hal ini permukaan gigi Si gadis digosok dengan batu kali (koral), sampai seluruhnya dianggap rata. Kemudian, Si gadis diharuskan untuk menggigit sepotong uha di antara gigi gerahamnya agar gigi-gigi yang terasa nyeri akibat digosok tidak sampai mengigit lidah. Selesai papar gigi, rombongan meninggalkan posuno dan kembali ke desa. Arti simbolik dari papar gigi adalah kedewasaan karena, menurut orang Nuaulu, seorang perempuan baru dianggap dewasa jika giginya sudah diratakan (papar gigi).

Keesokan harinya rombongan yang masih dipimpin oleh seorang dukun perempuan tersebut akan kembali lagi ke posuno. Setelah berada di posuno, Si gadis (pinamou) akan dilabur seluruh wajah dan badannya dengan becek. Tujuannya sama dengan pelumuran arang, yaitu melindungi Si gadis dari pengaruh roh-roh jahat karena perempuan yang dalam masa peralihan (dari anak-anak ke dewasa) dianggap kondisinya lemah (baik fisik maupun non-fisik) dan karenanya mudah dipengaruhi oleh roh-roh jahat.

Karisa pinamou dilakukan di hulu Sungai You yang letaknya di tengah hutan dan jaraknya agak jauh dari perkampungan orang Nuaulu. Lokasi tersebut dipilih karena mempunyai sebuah batu besar yang khusus diperuntukkan bagi prosesi upacara kirasa pinamou, yaitu hatu pinamou (batu Si gadis bisu). Daerah di sekitar hulu sungai ini adalah daerah yang tidak boleh didekati oleh kaum laki-laki, karena mengandung kekuatan gaib yang dapat dapat mencelakainya. Si gadis didudukkan di atasnya (batu besar) kemudian dimandikan oleh seluruh rombongan dengan menggunakan 10 ruas bambu yang berisikan air Sungai You. Tujuan karisa pinamou adalah untuk membersihkan diri Si gadis karena ia dianggap “kotor” selama masa haidnya, sehingga mudah dipengaruhi oleh roh-roh jahat.

Kegiatan dilanjutkan dengan acara menggosok seluruh tubuh Si gadis dengan minyak kelapa dan kunyit yang telah dihaluskan. Setelah itu, Si gadis digosok wajahnya dengan sisa-sisa kunyit dan kelapa oleh dukun dan anggota kelompok kerabatanya. Selanjutnya, adalah pemakaian pakaian yang dipimpin oleh isteri kepala soa dari soa Si gadis. Pakaian yang dikenakan adalah semacam pakaian adat yang dinamakan kaeng timor yang berasal dari daerah Timor atau kain dari daerah Kisar, Maluku Tenggara. Dahulu pakaian yang dikenakannya hanya sebuah “kain” yang dibuat dari anyaman daun-daun midan yang diberi motif orang-orangan dengan warna hitam, merah dan kuning. Adapun perhiasan yang dikenakan adalah seraie (konde) yang dibuat dari rangkaian manik-manik (warna-warni) dan rangkaian kulit bias kecil (jenis kulit siput tertentu). Manik-manik tersebut dirangkai dan disusun sedemikian rupa pada sebatang lidi yang dibuat dari bambu, sehingga menyerupai sebatang pohon yang berdaun lebat. Pada lehernya dikenakan pula manik-manik yang dirangkai sedemikian rupa sehingga menutupi seluruh dadanya. Sedangkan, tangan dan kakinya diberi gelang manik-manik yang jika digerakkan akan mengeluarkan suara. Setelah acara pemberian pakaian dan perhiasan selesai, Si gadis diantarkan menuju ke rumah soa oleh peserta upacara sambil berkapata (bernyanyi sambil berpantun), yang liriknya sebagai berikut:

Pinamou ita tani
Nusa yamana ninia sou
Heilete nunu sala heilalo
Hia-hia, hoe-hoe salu-salu yaniholo lete yai sioo

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
Gadis bisu menangis
Desa berbicara banyak
Musuh jatuh, salah dan tidak mati
Anak-anak, mari-mari sampai di sini kita berhenti.

Setelah rombongan tiba di rumah soa (numaonate), Si gadis diterima oleh isteri jou onate (isteri penjaga rumah soa). Isteri jou onate tersebut kemudian menyuguhkan sirih pinang (apapua) untuk diambil dan dikunyah oleh Si gadis. Selesai acara makan sirih (apapua), sang gadis kemudian disuapi oleh isteri jou onate dengan jenis-jenis makanan yang telah dipersiapkan di dalam nyiru. Semua jenis makanan yang disuapi itu harus dimakan sedikit-sedikit saja. Makna dari acara makan sirih dan penyuapan beberapa jenis makanan oleh isteri jou onate adalah bahwa Si gadis telah diakui oleh masyarakat sebagai orang dewasa, karena kegiatan makan sirih di Nuaulu hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa. Setelah acara suapan ini selesai, semua peserta upacara diundang untuk ambil bagian dalam acara makan bersama.

Pada malam harinya semua peserta upacara kembali lagi ke rumah soa (numaonate) untuk mengambil bagian dalam pesta pinamou. Dalam pesta tersebut, selain sajian berupa makanan tradisional dan minuman, juga diramaikan dengan tarian mako-mako yang dimainkan oleh para peserta upacara sendiri. Pesta pinamou baru berakhir menjelang terbitnya matahari. Pesta pinamou pada dasarnya merupakan pernyataan bahwa di dalam masarakat telah bertambah seorang wanita dewasa yang telah siap untuk berumah tangga. Dalam hal ini, orang tua dari Si gadis secara tidak langsung telah mempersiapkan diri untuk menghadapai kenyataan bahwa setelah anak gadisnya melalui upacara pinamou, akan segera datang pinangan yang dilakukan oleh seorang matakan (pemuda). Dikatakan demikian, sebab tidak lama setelah upacara pinamu usai biasanya akan ada lamaran yang ditujukan kepada orang tua Si gadis.

Pada pagi harinya Si gadis (pinamou) akan diantarkan ke kembali jalur lintasan Sungai You yang berada di sekitar tempat tinggalnya (bukan ke hulu Sungai You lagi) untuk mengadakan acara pemandian terakhir. Lokasi yang dipilih untuk melaksanakan prosesi tersebut adalah di tepi sungai yang di sekitarnya terdapat batu-batu besar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon yang berukuran besar. Setelah menemukan lokasi yang cocok, Si gadis kemudian didudukkan di atas sebuah batu di tepi sungai untuk dimandikan oleh isteri kepala soa. Upacara pemandian terakhir yang dipimpin oleh isteri kepala soa ini disaksikan oleh kelompok kerabat perempuan dari pihak ayah dan ibu pinamou. Mereka berdoa kepada Upu kuanahatana dan roh-roh para leluhur agar gadis yang diupacarai selamat. Pemandian terakhir dalam rentetan upacara pinamou bagi seorang gadis merupakan acara pengesahan si gadis sebagai perempuan yang telah dewasa dan telah dapat bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan diakui haknya untuk menikah. Dengan berakhirnya upacara pemandian terakhir ini, berakhirlah seluruh rentetan upacara pinamou.

Pada masa haid berikutnya tidak diadakan lagi upacara pinamou. Dalam hal ini, Si gadis hanya diharuskan mengasingkan diri ke posuno selama berlangsungnya masa haid. Sesudah masa haidnya berakhir, Si gadis baru diperbolehkan meninggalkan posuno, dan kembali ke tengah-tengah masyarakat ramai tanpa harus diadakan upacara lagi.

Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara pinamou. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta pinamou), makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, menghadiri pesta pinamou, dan lain sebagainya.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Pinamou merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat perempuan Si gadis, pada acara pemandian terakhir yang merupakan bagian akhir dari serentetan tahapan dalam upacara pinamou. Tujuannya adalah agar si gadis mendapatkan perlindungan dari upu kuanahatana dan roh-roh para leluhur, sebelum disahkan menjadi seorang perempuan dewasa.

Upacara Rujena Pada Masyarakat Naulu

Pengantar
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang terdapat di Provinsi Maluku, Indonesia. Di kalangan mereka ada sebuah tradisi yang termasuk dalam upacara di lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan, khususnya bagi laki-laki, dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa lampau kedewasaan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan pengayauan (pemenggalan kepala). Artinya, seorang anak laki-laki dianggap sebagai dewasa jika ia telah melakukan pengayauan, karena dengan berhasilnya memenggal kepala musuh berarti ia dianggap mampu melindungi warga masyarakatnya, khususnya anak-anak dan kaum perempuan. Dewasa ini tradisi itu tidak dilakukan lagi. Sebagai gantinya, mereka mengembangkan tradisi baru dalam menentukan kedewasaan seorang anak laki-laki, yaitu keterampilan (kemahiran) dalam menggunakan tombak dan panah . Jadi, seorang anak laki-laki yang sudah dapat menggunakan panah dan tombak dengan baik (mahir), maka dianggap sudah dewasa. Dan, untuk mengesahkan anak tersebut menjadi orang dewasa yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa lainnya, maka diadakanlah upacara rujena yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia berarti “pemakaian cawat”. Salah satu kegiatan yang bersifat simbolik dalam upacara ini adalah pemakaian cawat. Oleh karena itu, upacara ini disebut “upacara rujena”.

Seorang laki-laki yang telah melalui upacara ini berarti sudah dianggap sebagai orang dewasa (bukan kanak-kanak lagi) dan karenanya yang bersangkutan diperbolehkan untuk membentuk sebuah keluarga. Melalui upacara ini juga yang bersangkutan pada gilirannya mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana anggota masyarakat lainnya.

Mengingat pentingnya keahlian menombak dan memanah bagi seorang laki-laki Nuaulu, maka sejak dini (sekitar umur 5 atau 6 tahun) seorang anak laki-laki mulai diajari menombak dan memanah oleh orang tuanya. Ketika sudah agak besar (sekitar umur 9--13 tahun), biasanya diikutsertakan dalam perburuan. Oleh karena itu, anak laki-laki Nuaulu pada umur-umur tersebut biasanya sudah mahir dalam menombak dan memanah. Dan, karena dalam satu kampung biasanya anak laki-laki yang berumur 9--13 tahun lebih dari seorang, maka upacara rujena seringkali disatukan (dilakukan bersama-sama).

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Ada tiga tahap yang harus dilalui dalam upacara rujena, yaitu: (1) tahap pemakaian cawat, tahap pataheri (pembunuhan hewan upacara), dan (3) tahap pengesahan sebagai orang dewasa (pesta rujena). Oleh karena itu, lama penyelenggaraannya bisa memakan waktu sampai tujuh hari. Pelaksanaan tahap-tahap tersebut dilakukan dari pagi sampai sore hari (menjelang terbenamnya matahari), kecuali acara pesta rujena yang dilakukan pada malam hari.

Tempat pelaksanaan upacara rujena bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Untuk prosesi pemakaian rujena dan pataheri misalnya, kedua kegiatan tersebut bertempat di waluno (bangunan upacara) yang berada di tengah-tengah hutan. Sedangkan, pengesahan sebagai orang dewasa bertempat di suwane (rumah/balai adat) dari kelompok kerabat (soa) ayah. Adapun suwane yang dipilih untuk dijadikan tempat pengesahan adalah suwane yang momo kanatenya (pemimpinnya) umurnya lebih tua dari momo kanate-momo kanate lainnya.

Pemimpin upacara juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara rujena. Pada tahap pemakaian rujena dan pataheri misalnya, kedua tahap ini dipimpin oleh momo kanate . Jadi, momo kanate-lah yang memimpin prosesi pemakaian cawat dan pembunuhan hewan upacara. Jika anak-anak yang akan diupacarai berasal dari soa-soa yang berbeda, maka momo kanate yang akan menjadi pemimpin upacara adalah momo kanate yang usianya paling tua diantara momo kanate-momo kanate dari soa-soa yang mengikuti upacara. Sementara, momo kanate-momo kanate lainnya bertindak sebagai pendamping dan sekaligus saksi bagi anak-anak yang masuk dalam kelompok kerabatnya masing-masing. Kemudian, dalam pengesahan sebagai orang dewasa yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah pinawasa (pendeta adat). Ia dibantu oleh maawaka (wakil pimpinan upacara) dan seorang kurupasa (pengawal upacara) serta seorang kamama (penjaga api upacara).

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara rujena adalah para laki-laki anggota kelompok kerabat dari soa ayah dan ibu dari masing-masing anak yang diupacarakan. Mereka ini mengikuti upacara yang diselenggarakan di waluno dan di suwane. Selain anggota kerabat, ada juga para mataken (pemuda yang telah terlebih dahulu diupacarakan). Namun, mereka hanya mengikuti upacara yang diselenggarakan di suwane. Sebenarnya, kerabat wanita dari masing-masing anak yang diupacarakan juga terlibat tetapi tidak secara langsung. Mereka hanya mempersiapkan perbekalan yang diperlukan bagi penyelenggaraan upacara di walano.

Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara rujena ini adalah: (1) waluno, (2) rujena, (3) sehelai ikat pinggang yang terbuat dari kulit kayu, (4) dua helai kain berang (kain yang berwarna merah darah), dan (5) 25 buah tagalaya (sejenis bakul untuk menyimpan makanan).

Waluno, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah bangunan yang dibuat khusus untuk tempat pelaksanaan upacara rujena. Bangunan yang pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong oleh para laki-laki dewasa dari soa-soa yang anggotannya akan diupacarai ini didirikan di tengah-tengah hutan. Kaum perempuan tidak boleh mendekati bangunan ini. Hal itu disebabkan adanya kepercayaan bahwa jika ada perempuan yang mendekatinya, maka para laki-laki yang ada di daerah tersebut, khususnya anak-anak yang akan diupacarai, akan dihinggapi oleh kekuatan gaib yang bersifat destruktif.

Rujena adalah pakaian (dalam) yang akan dikenakan pada anak-anak yang akan diupacarai. Pakaian ini terbuat dari kulit sejenis pohon beringin yang berdaun kecil. Cara membuatnya, kulit kayu diambil sepanjang 3 meter dengan lebar 10--20 cm. Kemudian, ditumbuk dengan batu kali yang telah dipahat dengan motif garis-garis miring. Setelah itu, diberi hiasan medalion dengan gerigi sebanyak 5 buah. Medalion ini adalah simbol dari sistem kepercayaan yang dianut oleh orang Nuaulu (pemujaan terhadap matahari). Sedangkan, geriginya yang berjumlah 5 buah sebagai simbol bahwa Sukubangsa Nuaulu termasuk golongan atau kelompok pata lima .

Ikat pinggang yang terbuat dari kulit kayu pada dasarnya berfungsi sebagai pengencang rujena, sehingga tidak mudah melorot. Sementara itu, kain berang dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Nuaulu dan masyarakat daerah Maluku Tengah pada umumnya melambangkan keberanian, kejantanan dan kebulatan tekad.

Tagalaya adalah sejenis bakul. Wadah ini dalam upacara rujena digunakan sebagai tempat untuk makanan dan daging buruan. Setiap anak yang akan diupacarai memerlukannya sejumlah 25 buah. Jadi, jika ada 10 anak yang akan diupacarai, maka tagalaya yang harus disediakan berjumlah 250 buah.

Jalannya Upacara
Ketika para orang tua (laki-laki) menganggap bahwa anak-anaknya sudah mahir menggunakan tombak dan panah, maka mereka kemudian mengadakan rapat untuk menentukan waktu penyelenggaraan upacara rujena. Jika telah ada kesepakatan, mereka akan menemui momo kanate dari soa masing-masing untuk memberitahukan dan sekaligus meminta momo kanate untuk menjadi pemimpin soa-nya. Selain itu, pemberitahuan tentang upacara rujena juga disampaikan kepada pinawasa dan pembantunya. Ini penting karena merekalah yang akan mengesahkan kedudukan seorang anak laki-laki menjadi dewasa.

Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan menuju ke tempat upacara dipimpin oleh momo kanate yang tertua. Setiba di tempat upacara, anak-anak laki-laki yang akan diupacarakan dimasukkan ke dalam walano. Sementara itu, kaum pria dari masing-masing anak yang akan diupacarakan mulai melakukan perburuan hewan upacara yang berupa kusu (kuskus). Masing-masing kelompok diharuskan menangkap seekor tanpa boleh melukainya. Jumlah yang dibutuhkan harus dipenuhi pada hari itu juga. Jika jumlah yang diperoleh belum sesuai dengan kebutuhan, maka upacara akan ditunda pada keesokan harinya. Akan tetapi, jika jumlah kusu yang dibutuhkan terpenuhi, maka momo kanate yang tertua, yang bertindak sebagai pemimpin upacara, memerintahkan anak-anak yang akan diupacarakan membentuk sebuah lingkaran. Masing-masing didampingi oleh momo kanate dan seorang saksi dari soa-nya. Mereka ditelanjangi, kemudian dicawati oleh momo kanate masing-masing. Penelanjangan dan pemakaian cawat ini disaksikan oleh para saksi dan pada peserta upacara. Setelah itu, pengelilitan ikat pinggang pun dilakukan. Selanjutnya, ikat pinggang tersebut diselipi dengan sehelai kain berang (kain berwarna merah darah).

Kegiatan dilanjutkan dengan pembunuhan kusu. Dalam kegiatan ini setiap anak yang mengikuti upacara rujena diberi seekor kusu yang harus dipedang ekornya. Setelah itu, peserta upacara, kecuali momo kanate dan saksi dari masing-masing anak, meninggalkan waluno (masuk ke dalam hutan). Tujuannya adalah agar anak-anak mempunyai keberanian untuk membunuh kusu. Sebab, jika di tempat itu masih ada saudara-saudara soa-nya, dikhawatirkan ia akan berani membunuh hanya karena merasa mendapat dukungan moral (semangat) dari kerabatnya. Dengan demikian, pembunuhan kusu hanya disaksikan oleh momo kanate dan para saksi upacara. Dalam hal ini, mereka tidak hanya bertindak sebagai saksi, tetapi juga sekaligus sebagai penilai tentang: keberanian, kemampuan, dan keterampilan dari setiap anak dalam membunuh kusu. Jika seorang anak dapat membunuhnya dalam waktu yang relatif cepat, maka anak tersebut dianggap telah menjadi dewasa dengan tingkat “kejantanan” yang tinggi. Sedangkan, anak-anak yang menyelesaikan tugasnya (membunuh kusu) dalam waktu yang relatif lama, bukan berarti bahwa anak-anak tersebut belum menjadi dewasa. Mereka tetap dianggap sebagai dewasa, namun dengan kadar (tingkat) “kejantanan” yang rendah.

Sementara itu, para peserta yang sengaja pergi ke hutan, beberapa jam kemudian, kembali ke tempat upacara (walano) untuk melihat keberhasilan anak-anak yang mengikuti upacara rujena dalam pembunuhan kusu. Lamanya pembunuhan kusu itu memang sudah diperkiraan membutuhkan waktu beberapa jam, sehingga ketika mereka datang, semua kusu sudah terbunuh. Oleh karena semua hewan upacara sudah terbunuh, maka meja makan pun dipersiapkan. Semua perbekalan di dalam tagalaya dibuka dan diletakkan di atas meja makan tersebut. Kemudian, pemimpin upacara mempersilahkan semua peserta upacara (termasuk di dalamnya anak-anak yang diupacarakan) untuk memulai acara makan bersama. Dan, acara makan bersama yang merupakan pesta adat ini berlangsung selama 6 hari, sehingga setiap selesai acara makan bersama, anak-anak yang diupacarakan tetap tinggal di walano. Sementara itu, para momo kanate bersama peserta upacara memasuki hutan untuk berburu guna mengisi tagalaya yang telah kosong dengan daging-daging segar.

Pada hari keenam seluruh peserta meninggalkan waluno dan kembali menuju desa. Sebelum pergi, anak-anak yang diupacarai harus mengenakan karonum sebagai tanda pengenal bahwa yang bersangkutan baru saja selesai mengikuti upacara masa dewasa tahap I dan II. Setibanya di desa, mereka disambut oleh semua pria dewasa dan diantar menuju ke suwane. Akan tetapi, sebelum menuju ke suwane, mereka harus berkumpul di suatu tempat yang letaknya agak jauh dari suwane. Tempat tersebut dinamakan sanahana yang ditandai dengan sebatang pohon linggua (pterocarpus indica). Sementara itu, di suwane telah hadir pinawasa yang akan memimpin upacara pengesahan bersama pembantu-pembantunya, yaitu maawaka dan kurupasa. Pada saat yang sama api yang berada di dapur suwane dinyalakan oleh kamama. Api tersebut tidak boleh padam karena bagi orang Nuaulu, ia merupakan lambang keabadian. Oleh karena itu kamama tidak diperkenankan meninggalkan dapur suwane sebelum upacara dinyatakan selesai oleh pinawasa.

Saat api di dapur suwane telah menyala dan tifa mulai dibunyikan, pinawasa mengambil hati ayam yang telah dipersiapkan sebelumnya dan memasukkannya ke dalam sebuah mangkuk. Hati ayam yang dimasukkan itu telah dipotong-potong. Jumlah potongannya biasanya kurang dari jumlah anak-anak laki-laki yang akan diupacarakan. Selanjutnya, pinawasa memberi isyarat kepada momo kanate agar anak-anak ke suwane. Setelah tiba pada tempat yang telah ditentukan mereka diminta untuk memperebutkan hati ayam yang ditempatkan di dalam mangkuk. Sesudah itu, mereka memperagakan tarian cakalele (tarian perang) sambil mengelilingi pohon gadihu yang terletak dekat pintu masuk suwane sejumlah 5 kali. Pada pengelilingan yang terakhir (ke-5) mereka dilantik oleh pinawasa menjadi mataken , yaitu sebagai warga masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan dapat bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dengan berakhirnya pelantikan oleh pinawasa, maka berakhir sudah seluruh rentetan upacara rujena.

Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara rujena. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian dan gotong royong. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat di suatu tempat (pada saat acara pesta rujena di suwane), makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan secara cermat, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian. Tanpa ketelitian tidak mungkin upacara akan terselenggara dengan baik dan lancar.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling membantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, menghadiri pesta rujena, dan lain sebagainya. Tanpa semangat gotong-royong, upacara rujena tidak dapat terselenggara dengan baik.

Madudutu Lese

Asal Usul
Madudutu lese artinya “banting badan”. Dinamakan demikian, karena dalam permainan ini masing-masing pemain berusaha sekuat tenaga agar dapat membanting badan atau tubuh lawannya sehingga jatuh ke tanah dan tidak lagi berdaya untuk membalas bantingan tersebut. Permainan madudutu lese terdapat di Puau Halmahera, tepatnya di Kecamatan Sahu dan Kecamatan Jailolo, Kabupaten Maluku Utara. Pada mulanya madudutu lese hanya dilakukan pada waktu malam hari sebelum diadakan upacara Waleng yaitu upacara adat yang biasa dilakukan sesudah panen padi. Namun, madudutu lese tidak terikat pada waleng, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jadi, pelaksana waleng tidak beranggung jawab atas jalannya madudutu lese dan sebaliknya, pelaksana madudutu lese pun tidak beranggung jawab terhadap jalannya upacara waleng. Saat ini permainan madudutu lese dapat dimainkan kapan saja tanpa harus menunggu adanya upacara waleng terlebih dahulu.

Pemain
Madudutu lese hanya dimainkan oleh laki-laki dewasa yang dianggap sudah mahir berkelahi, sehingga jika bermain tidak terlalu membahayakan keselamatannya. Permainan ini terdiri dari 2 orang atau satu lawan satu dan dilaksanakan secara bertingkat. Artinya, yang menang melawan yang menang lagi sehingga selesai bermain tinggal beberapa orang saja. Permainan ini dapat 7 atau 9 malam berturut-turut menurut pelaksanaan upacara Waleng.

Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan madudutu lese tidak memerlukan tempat yang luas (10 x 10 meter), karena satu kali pertandingan hanya diikuti oleh dua orang. Halaman rumah atau tanah yang agak lapang sudah cukup untuk menyelenggarakan permainan. Madudutu lese juga tidak memerlukan peralatan tertentu untuk membantu jalannya permainan, karena untuk menjatuhkan lawan hanya diperlukan kekuatan tubuh yang disalurkan melalui tangan dan kaki.


Aturan dan Proses Permainan
Aturan permaian tergolong mudah, yaitu siapa yang dapat menjatuhkan atau membanting lawannya maka dia dianggap sebagai pemenangnya. Pada saat pertandingan dimulai, pemain berdiri berhadapan sambil memegang ikat pinggang lawannya. Setelah wasit memberikan aba-aba, para pemain berusaha untuk membanting dengan tangan tetap berada pada ikat pinggang lawan tersebut. Ada beberapa cara untuk merobohkan lawan antara lain: labit rou, yaitu mengaitkan kaki lawan dari bagian luar atau dari dalam; badu bolon, yaitu membanting lawan dengan cara menjepit kaki lawan dengan kedua lutut sendiri, dan sementara itu tangan yang memegang ikat pinggang membanting ke kiri atau kekanan; sikur, yaitu mengangkat lawan dengan kedua lengan pada kain pengikat pnggang kemudian berusaha membanting lawan itu ke tanah; dan si wale, yaitu melemparkan lawan ke tanah tetapi tangan tidak boleh terlepas dari ikat pinggang lawan tersebut. Apabila seorang pemain dapat menjatuhkan lawannya maka ia dinyatakan sebagai pemenang dan nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal dua pemain terakhir yang selalu menang berhadapan satu sama lain untuk mendapatkan pemenang utama.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan rampuat kakaran adalah keterampilan, kerja keras, kerja sama, dan sportivitas. Nilai keterampilan tercermin dari keterampilan membawa bilah bambu dalam berbagai posisi dan ketepatan mengenai bilah bambu lawannya. Nilai kerja keras tercermin dari usaha para pemain untuk mengenai bilah bambu lawan. Kemudian, nilai kerja sama tercermin dari kekompakan pemain dalam berusaha memperoleh poin agar bisa memenangkan permainan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari adanya kesadaran bahwa dalam permainan tentunya ada pihak yang kalah dan memang. Oleh karena itu, setiap pemain dapat menerima kekalahan dengan lapang dada

Permainan Ciko Guru 


Pengantar
Maluku adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di sana, khususnya di kalangan orang Jailolo dan Sahu yang berada di Maluku Utara, ada sebuah permainan tradisional yang bernama ciko guru, yaitu permainan melempar dan mencukil 10 buah batu atau buah gelici dalam jarak tertentu hingga seluruhnya masuk ke dalam lubang. Ciko guru dapat diartikan “menunjuk” karena dalam permainan ini orang baru boleh bermain setelah ditunjuk oleh lawan mainnya. Permainan ciko guru kadang-kadang disebut juga dengan “main batu membayar kenari” karena bagi yang kalah harus membayar sejumlah kenari atau langsat atau kelereng sesuai dengan kesepakatan antarpemain sebelum permainan dimulai. Asal usul permainan ciko guru di kalangan orang Jailolo maupun Sahu sudah tidak dapat diketahui lagi.

Pemain
Permainan ciko guru dapat dimainkan oleh maksimal 4 orang. Namun, jika lebih dari itu maka pemain lain akan membentuk kelompok sendiri dengan membuat arena bermain yang boleh berdekatan dengan kelompok lain. Dahulu permainan ini hanya diperuntukan bagi kaum lelaki dewasa saja. Namun saat ini ciko guru dapat dimainkan oleh siapa saja baik lelaki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak.

Tempat Permainan
Permainan ciko guru dapat dilakukan di mana saja, di halaman rumah, di halaman rumah adat, ataupun di lapangan. Dahulu permainan ini hanya dilakukan pada malam hari di halaman rumah orang yang baru meninggal. Maka dari itu, hanya laki-laki dewasa sajalah yang boleh memainkannya. Anak-anak tidak boleh bermain karena dikhawatirkan anak menimbulkan kegaduhan. Sementara kaum perempuan pada waktu itu biasanya akan membantu menyiapkan hidangan di rumah orang yang ditimpa musibah tersebut. Di dalam arena permainan ciko guru akan dibuat sebuah bujur sangkar dengan sisinya kira-kira 60 cm. Tepat di tengah-tengah bujur sangkar ada sebuah lubang dengan diameter sekitar 5 cm. Kemudian, dipasanglah sebuah tonggak bambu atau kayu sekitar 17 cm yang nantinya akan ditanam dengan kedalaman 2 cm (hanya menyisakan 15 cm di atas permukaan tanah). Jarak antara tonggak dan bujur sangkar sekitar 12 meter. Sekitar 30 cm di depan tonggak akan dibuat garis sebagai batas sah atau tidaknya lemparan pemain.

Peralatan Permainan
Peralatan dalam permainan ciko guru hanyalah batu kerikil, buah gelici atau kelerang. Alat permainan ini nantinya ada yang digunakan sebagai gacu dan ada yang dijadikan sebagai taruhan.

Aturan dan Proses Permainan
Aturan dan proses permainan ciko guru dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, pemain harus melempar gacunya dari tepi lubang ke arah tombak yang jaraknya sekitar 12 meter. Aturan-aturan yang terdapat dalam tahap pertama ini adalah: (1) pemain harus melempar gacu melewati garis batas di depan tonggak agar dapat mengikuti tahap berikutnya; (2) apabila pada waktu melempar itu gacunya tidak melewati garis batas di depan tonggak, maka pemain harus kembali melempar; (3) bila gacu yang dilempar mengenai gacu lawan, maka lawan tersebut harus kembali melempar; dan (4) pemain yang gacunya paling dekat dengan tonggak akan mendapat kesempatan pertama untuk melempar pada tahap berikutnya. Pada tahap kedua lemparan tidak dilakukan di pinggir lubang, melainkan di sisi luar garis bujur sangkar yang jaraknya sekitar 60 cm dari lubang, dengan aturan sebagai berikut: (1) pemain akan menunjukkan batu-batu yang dimilikinya pada lawan mainnya, dan lawan tersebut akan menunjuk 1 buah batu yang nantinya akan digunakan sebagai batu pertama sewaktu dimasukkan ke dalam lubang; (2) cara memasukkan batu pada tahap kedua ini adalah dengan menjentikkan batu menggunakan kuku ibu jari atau jari kelingking, dengan syarat salah satu tangan harus menapak pada garis batas bujur sangkar; (3) bila batu pertama berhasil masuk lubang, maka pemain itu dapat menentukan sendiri batu mana lagi yang akan digunakannya; (4) bila batu yang dijentikkan tersebut mengenai batu lain dan keduanya masuk lubang secara berurutan maka dinyatakan sah dan mendapatkan dua nilai. Namun apabila kedua batu tersebut masuk ke lubang secara bersamaan, maka dianggap tidak sah. gacu mengenai kenari atau gelici hingga ada yang keluar dari lubang, maka pemain berhak mengambil semua kenari yang berada di dalam lubang dan permainan diulang seperti semula lagi; dan (4) penentuan kalah menang dalam permainan ini adalah bagi siapa yang dapat memasukkan gacu paling banyak, maka dialah pemenangnya. Sementara itu, proses permainannya, setelah membuat lubang dan memasang tonggak adalah menentukan jumlah taruhan untuk satu kali permainan. Setelah taruhan disepakati, barulah kemudian penentuan nomor urut pemain dengan jalan suten atau undi. Selanjutnya permainan akan dimulai dengan urutan seperti aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas, dan bagi pemain yang memperoleh buah kenari atau gelici yang terbanyak maka ia dinyatakan sebagai pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai ciko guru ini adalah kerja keras dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat pemain yang berusaha agar lemparannya dapat sedekat mungkin dengan tonggak, dan untuk menjentik gacu agar masuk ke lubang dan memperoleh nilai. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.

Tari Cakalele

Tari Cakalele merupakan tarian tradisional Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Para penari laki-laki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua. Di kedua tangan penari menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sedangkan penari perempuan mengenakan pakaian warna putih sembari menggenggam sapu tangan (lenso) di kedua tangannya. Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi musik beduk (tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup.

Tari Cakalele disebut juga dengan tari kebesaran, karena digunakan untuk penyambutan para tamu agung seperti tokoh agama dan pejabat pemerintah yang berkunjung ke bumi Maluku. Keistimewaan tarian ini terletak pada tiga fungsi simbolnya. (1) Pakaian berwarna merah pada kostum penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi perang. (2) Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. (3) Tameng (salawaku) dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat

Posting Terkait





Artikel Terkait:

Views

Tidak ada komentar:

Posting Komentar