MALUKU SATU DARAH

Sabtu, 15 Januari 2011

PAHLAWAN NASIONAL MALUKU


SULTAN  HAIRUN (1538 - 1575)

Hairun diangkat menjadi Sualtan Ternate menggantikan Sultan Tabarija pada tahun 1538. Pada permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik. Tetapi kemudian timbul pertentangan-pertentangan karena ulah Portugis yang memulai dengan politik menopoli perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak tahun 1515 hubungan baik dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto d’Eca menuntut penyerahan hasil cengkih dari Pulau Makian. Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi lagi. Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan. Rakyat Ternate angkat senjata dan perdamaian tidak akan terjadi lagi.

Peperangan yang timbul di antara tahun 1563 – 1570 menghancurkan usaha-usaha perdagangan Portugis. Sultan Hairun mengirim putranya Babullah dengan suatu armada yang kuat menyerang orang-orang Portugis di Ambon. Mereka dibantu oleh rakyat Hitu dan orang-orang Jawa. Sebaliknya armada Portugis yang dipimpin Antonio Peaz menyerang armada Ternate dan sekutunya. Peperangan di Ambon dan sekitarnya berlangsung seru bahkan beralih menjadi perang agama antara penduduk beragama Islam melawan penduduk beragama Kristen, jalan ke perdamaian dicari.

Pada tanggal 27 Pebruari 1570 diadakan perdamaian antara Ternate dan Portugis. Dengan hikmat Sultan Hairun bersumpah atas Quran dan Gubernur Lopez de Mesquita atas Kitab Misa, bahwa mereka akan memelihara perdamaian yang kekal. Tetapi keesokan harinya Mesquita berkhianat. Ketika Hairun datang mengunjunginya di benteng, Mesquita menyuruh saudaranya Antoni Pimentel membunuhnya. Sejak tanggal 28 Pebruari 1570 sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Yang memaklumkan perang itu adalah Babullah putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate. Pada saat itu ia bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari kerajaannya


SULTAN  BABULLAH (1570 – 1583)

Babullah diangkat menjadi Sultan Ternate pada tahun 1570 menggantikan ayahnya Sultan Hairun yang dibunuh Portugis pada tanggal 28 Peberuari 1570. Sejak tahun 1570 sampai 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Sejak kematian ayahnya, Babullah bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari kerajaannya. Tindakan pertamanya ialah mengepung benteng Portugis (Sao Paulo). Kepungan itu sangat erat sehingga tidak seorangpun dapat masuk atau keluar benteng. Dengan demikian diharapkan orang-orang Portugis akan menyerah setelah persediaan makanan mereka habis. Pengepungan berlangsung selama lima tahun dan akhirnya orang-orang Portugis menyerah.
Babullah memberikan kesempatan selama 24 jam bagi orang-orang Portugis untuk meninggalkan kerajaan Ternate. Ia berjanji bahwa semua orang Portugis dengan harta miliknya boleh berangkat ke Ambon atau Malaka secara damai. Tiga hari sesudah penyerahan benteng, tibalah sebuah kapal Portugis dan diterima dengan baik oleh Sultan. Kemudian semua orang Portugis bersama-sama orang Kristen Ternate berpindah ke Ambon. Orang-orang Portugis yang kawin dengan wanita-wanita Ternate boleh menetap. Dikemudian hari mereka berpindah ke Tidore.

Sultan Tidore mempergunakan kesempatan ini untuk bersahabat dengan Portugis yang kemudian mengizinkan mereka mendirikan benteng di Tidore. Sultan Babullah terus berusaha mencari pembunuh ayahnya dengan mengirim utusan ke Spanyol. (Tahun 1580 Portugis dipersatukan dengan Spanyol) yang dipimpin oleh Naik. Tugas mereka menuntut agar Raja Spanyol menghukum pembunuh Hairun. Namun ternyata bahwa si pembunuh yaitu Mesquita sudah meninggal. Sultan Babullah akhirnya wafat pada bulan Juli tahun 1583 dan diganti oleh Sultan Said (1583 – 1606). Perang terhadap bangsa Portugis masih terus berlanjut dan berkobar sampai di Mabon. Peperangan terus berlanjut sampai masuknya penjajah baru yaitu orang-orang Belanda yang mengalahkan Portugis tahun 1605


KAPITAN  KAKIALI 


Kakiali adalah putera Tepil yang bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kakiali.

Pada tahun 1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu dibantu oleh Gimelaha Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku dan rakyat Iha dari Pulau Saparua. Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar dan Ternate. Setelah digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta), para pejuang Hitu terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani yang dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan dipimpin panglima Hitu Patiwani. Pada tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya dalam perundingan dengan Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali dipulangkan ke Hitu untuk menentramkan rakyat Hitu yang semakin bergolak.

Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta bantuan Sultan Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama melawan Hitu. Kemudian diangkatlah Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang keras ini mulai mengadakan serangan besar-besaran ke benteng Wawani. Pada tahun 1643 Belanda dapat menduduki Wawani setelah perang tersebut dikosongkan pasukan Hitu dan Panglima Patiwani. Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan Belanda dengan rencana meminta bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya sendiri. Kakiali gugur bukan karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya yang baik yaitu Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh Belanda, ia membunuh Kakiali pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan sebilah keris. Pahlawan dari Wawani ini meninggal seketika. Namun perlawanan rakyat Hitu belum berhenti. Peperangan diteruskan pada tahun 1643 – 1646 sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Tulukabessy dan Imam Rijali.


KAPITAN  TULUKABESSY

Hairun diangkat menjadi Sualtan Ternate menggantikan Sultan Tabarija pada tahun 1538. Pada permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik. Tetapi kemudian timbul pertentangan-pertentangan karena ulah Portugis yang memulai dengan politik menopoli perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak tahun 1515 hubungan baik dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto d’Eca menuntut penyerahan hasil cengkih dari Pulau Makian. Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi lagi. Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan. Rakyat Ternate angkat senjata dan perdamaian tidak akan terjadi lagi.

Peperangan yang timbul di antara tahun 1563 – 1570 menghancurkan usaha-usaha perdagangan Portugis. Sultan Hairun mengirim putranya Babullah dengan suatu armada yang kuat menyerang orang-orang Portugis di Ambon. Mereka dibantu oleh rakyat Hitu dan orang-orang Jawa. Sebaliknya armada Portugis yang dipimpin Antonio Peaz menyerang armada Ternate dan sekutunya. Peperangan di Ambon dan sekitarnya berlangsung seru bahkan beralih menjadi perang agama antara penduduk beragama Islam melawan penduduk beragama Kristen, jalan ke perdamaian dicari.

Pada tanggal 27 Pebruari 1570 diadakan perdamaian antara Ternate dan Portugis. Dengan hikmat Sultan Hairun bersumpah atas Quran dan Gubernur Lopez de Mesquita atas Kitab Misa, bahwa mereka akan memelihara perdamaian yang kekal. Tetapi keesokan harinya Mesquita berkhianat. Ketika Hairun datang mengunjunginya di benteng, Mesquita menyuruh saudaranya Antoni Pimentel membunuhnya. Sejak tanggal 28 Pebruari 1570 sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Yang memaklumkan perang itu adalah Babullah putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate. Pada saat itu ia bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari kerajaannya


JOHAN  PAIS

Johan Pais adalah Orang Kaya Hative di Pulau Ambon Jasirah Laitimor. Ia juga menjabat sebagai pembantu pendeta. Jan Pais ini dituduh mengepalai perlawanan di Leitimor. Gubernur Belanda yaitu Arnold de Vlamingh van Oudshoorn menangkapnya. Ia disiksa untuk mengakui kesalahannya. Dia dituduh berkomplot dengan Kimelaha Madjiraa yaitu wakil Sultan Ternate yang berkuasa di Jasirah Huamoal Pulau Seram untuk mengusir kompeni Belanda. Sesudah itu dia akan menjadi kepala dari semua orang Kristen dan Madjira dari semua orang Islam.

Sewaktu disiksa Jan Pais mengaku, tetapi dalam keadaan tidak disiksa dia menyangkal. De Vlamingh berpendapat bahwa dia bersalah. Pada malam hari dia dieksekusi mati. Kepalanya dipancung dan tubuhnya dibagi empat. Peristiwa ini terjadi secara rahasia agar tidak diketahui rakyat, mungkin juga supaya jangan menimbulkan kegoncangan di kalangan rakyat. Keesokan harinya Orang-Orang Kaya (pemimpin Negeri) diundang ke benteng Victoria dan mereka menyaksikan keganasan de Vlamingh itu, maksudnya untuk menakutkan mereka.

Bersalah tidaknya Jan Pais ini, memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Namun yang jelas bahwa di daerah Leitomor, rakyat yang sudah lama menderita dan jenuh dengan tuntutan-tuntutan VOC, bangkit menyerang Belanda dimana-mana. Jan Pais adalah pahlawan mereka yang tampil membela kebenaran dan keadilan dan diakui sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan rakyat Maluku


KAPITAN  ULUPAHA

Kapitan Ulupaha berasal dari Negeri (Desa) Seith di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Ia adalah pembantu dari Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura pemimpin perang Pattimura melawan Belanda tahun 1817. Kapitan yang sudah berumur lanjut ini (80 tahun) ditugaskan Pattimura untuk mempertahankan Front Hitu di Pulau Ambon dan menjadi pemimpin pasukan. Rakyat Jasirah Hitu mengangkat senjata setelah mendengar jatuhnya Benteng Duurstede di Pulau Saparua.

Pada permulaan peperangan, pasukan Ulupaha telah mengancam dan menyerang benteng Amsterdam di Negeri Hila dan pos-pos penjagaan Belanda di Larike, Liang dan Waai. Pada waktu peperangan sedang berkobar di kepulauan Lease melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1817, Ulupaha menggerakkan pasukan menyerang benteng Belanda di Negeri Larike. Namun gagal diduduki, oleh karena Belanda mengerahkan pasukannya yang besar dari laut dan darat yang dipimpin Mayor Meyer. Serangan Belanda kemudian ditujukan ke pusat pertahanan Ulupaha di Seith dan Negeri-Negeri di sekitarnya. Ulupaha dan pasukannya berjuang mempertahankan Negeri-Negeri di Jasirah Utara Hitu dengan bantuan pasukan Alifuru dari Seram.

Pada tanggal 16 oktober 1817, Laksamana Buyskes sebagai Panglima tertinggi Belanda yang datang sendiri ke Maluku memerintahkan serangan umum ke Hitu menyebabkan terjadilah pertempuran yang seru antara kedua belah pihak. Pasukan Ulupaha akhirnya terdesak dan bergerilya di hutan-hutan. Ulupaha lalu menyingkir ke Seram Barat dan menggabungkan diri dengan pasukan dari Negeri Luhu menyerang benteng Belanda di Luhu. Benteng tersebut akhirnya jatuh ke tangan pasukan Ulupaha.

Belanda kembali menyerang Seram Barat dan menduduki benteng Luhu. Kemudian ekspedisi khusus diadakan untuk menangkap Ulupaha. Pada bulan Januari 1818 pahlawan tua ini digotong dengan tanda memasuki benteng Victoria, tanggal 19 Pebruari 1818, sidang kilat Pengadilan Ambon menjatuhkan hukuman mati dan pada tanggal 20 Pebruari 1818 pahlawan tua ini dieksekusi hukuman mati gantung di lapangan yang berada di depan benteng Victoria


SAID  PRINTAH

Said Printah alias Pattikakang adalah raja pertama Negeri (Desa) Siri Sori Islam di Pulau Saparua dari marga Pattisahusiwa. Penulis-penulis Belanda menulis nama Said juga sebagai Sayat (Sayat Printah). Tokoh ini ikut berjuang menentang Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817 bersama Sarasa Sanaki yaitu Patti Siri Sori Islam yanag diangkat Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dan yang menandatangani “Proklamasi Haria”. Verheull menulis bahwa Said Printah dihukum mati gantung pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama ketiga pahlawan lainnya yaitu Anthone Rhebok Kapten Borgor, Philip Latumahina Letnan Borgor, Melchior Kesaulya alias Pattisaha dan Thomas Matulessy alias Pattimura.

Sebenarnya nama Said Printah sebagai Raja Siri Sori Islam yang mati digantung pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 itu tidak ada namanya dalam surat keputusan eksekusi dari Buyskes bersama ketiga pahlawan di atas. Hal ini diperkuat lagi oleh daftar silsilah keturunan raja-raja Siri Sori Islam, yang menjelaskan bahwa raja mereka yang pertama adalah Said Printah alias Pattikahang. Ia diberhentikan dengan hormat pada tahun 1819, meninggalnya kapan tidak diketahui. Dengan demikian jelas bahwa Said Printah tidak termasuk pahlawan yang dihukum mati gantung pada pagi tanggal 6 Desember 1817. Sejarahwan I. O. Nanulaitta, mengatakan bahwa Said Printah adalah raja Siri Sori Islam, tokoh historis yang berjuang melawan Belanda, juga dihukum mati gantung. Hanya saja vonis Raad van Yustitie harus membuktikan “missing link” ini dan juga keputusan Buyskes. Tapi kedua-duanya belum ditemui atau tidak ada. Sejarahwan J. A. Pattikayhatu berpendapat bahwa yang dimaksud Verheull dengan Said atau Sayat Printah itu adalah Melchior Kasaulya yaitu tokoh yang diangkat Pattimura untuk mewakili raja Siri Sori yaitu Salomon Kesaulya yang telah berkhianat dan tewas dalam pertempuran Waisisil


ANTHONE  RHEBOK

Anthone Rhebok Kapten orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura pada tahun 1817 yang dipimpin oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura. Anthone Rhebok bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede dan memimpin pertempuran melawan ekspedisi tentara Belanda di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Anthone Rhebok juga diserahi tugas oleh Thomas Matulessy untuk mengatur pertahanan rakyat di Pulau Nusalaut dan merebut benteng Belanda yaitu Beverwijk di Sila Leinitu. Ia juga aktif di medan-medan pertempuran di Pulau Saparua dan sekitarnya.
Pahlawan dari staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang juga bekas mantan pasukan “Korps Limaratus” tentara cadangan Inggris itu tertangkap bersama Patih Negeri Tiouw Jacobus Pattiwael pada tanggal 13 November 1817. Mereka diangkut dengan kapal perang “Evertsen” ke Ambon. Di atas kapal dia bertemu dengan panglimanya Thomas Matulessy dan lain-lain tawanan. Anthone Rhebok mendapat hukuman mati gantung oleh Pengadilan Belanda Ambonsche Raad van Justitie. Laksamana Buyskes mengesahkan hukuman tersebut dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 131. Akhirnya pada tanggal 16 Desember 1817 Anthone Rhebok menaiki tiang gantungan sebagai orang kedua bersama Thomas Matulessy di lapangan eksekusi di depan benteng Victoria di kota Ambon


PHILIPS  LATUMAHINA

Philips Latumahina Letnan orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura di tahun 1817. Bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede pusat pertahanan Belanda di kota Saparua dan membantu Thomas dalam pertempuran melawan tentara Belanda di pantai Waisisil di Saparua. Philips juga ikut memimpin pertempuran-pertempuran di Saparua, Tiouw dan tempat-tempat pertempuran lainnya di Jasirah Hatawano dan Jasirah Tenggara (Ouw – Ullath).
Pahlawan yang adalah staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura ini juga bekas mantan pasukan “Korps Limaratus”. Ia tertangkap bersama Johanis Matulessy kakak Thomas Matulessy pada tanggal 13 Nopember 1817 oleh pasukan Letnan Veerman di Hutan Booi – Paperu. Mereka ditahan dan diangkut dengan kapal perang “Reygersbergen”. Pada tanggal 12 Desember 1817, Ambonsche Raad van Justitie (Pengadilan Belanda di Kota Ambon) menjatuhkan hukuman mati gantung atas diri Letnan Philips Latumahina. Vonis ini disahkan oleh Laksanaman Buyskes dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 129.
Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas


MELCHIOR KESAULYA

Melchior Kesaulya yang namanya dieja sebagai Melojier Kesaulya alias Kapitan Pattisaha adalah raja Siri Sori yang diangkat Thomas Matulessy sebagai pembantuanya menggantikan raja Salomon Kesaulya yang berkhianat dan tewas dalam pertempuran di pantai Waisisil dengan Mayor Beetjes tanggal 20 Mei 1817. Melchior-lah yang menandatangani “Proklamasi Haria” pada musyawarah besar di Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817. Ia diangkat oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura sebagai salah satu komandan pasukan rakyat di Pulau Haruku untuk merebut benteng Belanda “Zeelandia” dibawah pimpinan Kapitan Lukas Selanno yang dibantu oleh Kapitan Lukas Lisapaly alias Kapitan Aron.
Ketiga kapitan ini pernah berdinas dalam kesatuan tentara Inggris yaitu Korps Limaratus dibawah pimpinan Sersan Mayor Thomas Matulessy. Pada akhir peperangan, Melchior tertangkap dan dibawa bersama para kapitan lain ke Ambon. Dia diputuskan mendapat hukuman mati gantung oleh Ambonsche Raad van Yustitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Vonisnya disahkan Laksamana Buyskes dengan Surat Keputuan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 132. Ia naik tiang gantungan pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama Thomas Matulessy, Anthone Rhebok dan Philips Latumahina. Melchior Kesaulya merupakan orang ketika yang naik tiang gantuangan dan yang terakhir adalah pahlawan Thomas Matulessy
Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas


KAPITAN  PAULUS  TIAHAHU

Paulus Tiahahu adalah seorang Kapitan perang dari Negeri Abubu di Pulau Nusalaut yang turut dalam perang Pattimura tahun 1817. Paulus dan Anthone Rhebok ditugaskan Pattimura untuk mengatur pertahanan di Nusalaut. Bersama-sama dengan pasukan rakyat ia merebut benteng Beverwyik di Negeri Sila Leinitu. Pasukan Belanda di benteng tersebut disergap dan dibunuh. Para pejuang dari Nusalaut mengambil bahagian pula dalam pertempuran-pertempuran di Saparua, Haruku dan Jasirah Hatawano di Pulau Saparua. Juga raja-raja dan pati di Pulau Nusalaut ikut menandatangani Proklamasi Haria di Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817.

Paulus mempunyai seorang putri yang bernama Martha Christina. Putrinya selalu mendampingi dirinya dalam medan-medan pertempuran. Semangat tempur srikandi Nusalaut yang masih remaja ini selalu mengobarkan semangat pasukan Pattimura. Selain memimpin kaum wanita ikut pertempuran, ia berada juga di tengah-tengah pasukan dengan ayahnya menghadang musuh dan menggabungkan keberaniannya dalam medan pertempuran di Ouw – Ullath Jasirah Tenggara Pulau Saparua. Pertempuran heroik di Front Ouw – Ullath berakhir dengan kekalahan pejuang-pejuang rakyat. Kapitan Paulus Tiahahu, putrinya Martha Christina, Raja Hehanussa dari Negeri Titawaai, Raja Ullath dan Pati Ouw tertangkap. Mereka dibawa ke kapal perang “Everstsen”.
Di kapal ini para pejuang bertemu dengan Thomas Matulessy dan para tawanan lainnya. Sesudah diinterogasi, Buyskes menjatuhkan hukuman mati terhadap Paulus Tiahahu. Tanggal 16 Nopember 1817, Kapitan Paulus dengan putrinya Martha Christina diangkut ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwyik. Pada tanggal 17 Nopember 1817, sesuai dengan vonis yang dijatuhkan Buyskes ia dihukum mati tembak oleh regu penembak Belanda di depan benteng Beverwyik. Putrinya tidak dapat membelanya. Setelah itu Martha dilepaskan dan ia berkeliaran di hutan-hutan, sehingga akhirnya ditangkap dan meninggal di atas kapal perang Eversten pada tanggal 2 Januari 1818


KAPITAN  LUKAS  SELANNO

Lukas Selanno berasal dari Negeri Noloth di Pulau Saparua. Setelah membantu Kapitan Pattimura dan Anthone Rhebok, mengatur strategi dan pertempuran melawan pasukan Marinir Belanda yang dipimpin Mayor Beetjes di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Ia diangkat Pattimura sebagai komandan pasukan rakyat di Pulau Haruku dengan tugas menyerbu dan menduduki benteng Belanda “Zeelandia” di Haruku Sameth.
Lukas dibantu oleh Kapitan Pattisaha yaitu Melchior Kesaulya dan Kapitan Lukas Lisapally alias Kapitan Aron. Ia ikut juga membantu Kapitan Pattimura menyerbu benteng Duurstede di kota Saparua. Lukas Selanno akhirnya ditangkap dan dibawa ke Ambon. Ia dijatuhi vonis hukuman mati gantung oleh Raad van Justitie (Pengadilan Belanda di Ambon) karena dipersalahkan menyerang benteng Duurstede dan turut dalam pembunuhan dengan tuduhan pokok membunuh Nyonya Residen van den Berg. Pada tanggal 26 Januari 1818, Lukas naik tiang gantungan di lapangan eksekusi di depan benteng Victoria di kota Ambon, dan gugur sebagai pahlawan rakyat


KAPITAN  LUKAS  LISAPALY  (ARON)

Lukas Lisapaly berasal dari Negeri Ihamahu di Pulau Saparua. Terkenal pula dengan sebutan atau nama Kapitan Aron. Dia mengambil bagian bersama pasukan rakyat dari Hatawano dalam penyerangan benteng Belanda Duurstede di kota Saparua dan penghancuran tentara Mayor Beetjes dalam pertempuran di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Sesudah itu dia diangkat sebagai salah seorang komandan pasukan rakyat di Pulau Haruku, dibawah pimpinan Kapitan Lukas Selanno untuk merebut benteng Zeelandia dan juga diserahi tugas memimpin pasukan di Jasirah Hatawano untuk menangkis serangan pasukan Belanda. Pada akhir peperangan, Lukas Lisapaly alias

Kapitan Aron tertangkap dan dibawa ke Ambon. Ambonsche Raad van Yustitie memutuskan hukuman mati gantung. Dia dipersalahkan menyerang benteng Duurstede di kota Saparua dan turut dalam pembunuhan seorang guru di Amahai dengan kakak dan anak-anaknya serta terhadap pembunuhan Yulianus Tuankotta, kakak dari Patih Akoon yang berkhianat. Pada tanggal 16 Januari 1818 Lukas menjalani eksekusi mati gantung di depan benteng Victoria kota Ambon


YAKOB  SAHETAPY

Yakob Sahetapy adalah kepala sekolah rakyat sekaligus guru agama di Saparua. Dia adalah Bapak Rohani bagi rakyat yang berjuang khususnya bagi pejuang di medan pertempuran. Menjelang penyerbuan benteng Duurstede di kota Saparua, ia menaikkan doa untuk para pejuang.
Di dalam musyawarah, guru Sahetapy juga menaikkan doa agar Tuhan selalu menyertai perjuangan rakyat. Mazmur 17 menjadi pedoman untuk memperkuat iman para pejuang. Pengaruh Sahetapy sangat besar di kalangan rakyat dan pimpinan perang, khususnya bagi Thomas Matulessy Kapitan Pattimura. Pada akahir peperangan Yakob Sahetapy tertangkap dan dibawa ke Ambon. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati gantung kepadanya. Tetapi Laksanaman Buyskes mengubah hukuman itu menjadi hukuman pembuangan ke Jawa. Yakob kemudian dibuang bersama Yohannis Matulessy (kakak Thomas Matulessy) ke Surabaya untuk bekerja di perkebunan pemerintah.


YEREMIAS  LATUIHAMALLO

Yeremias Latuihamallo adalah penasihat utama Thomas Matulessy Kapitan Pattimura, ia berasal dari Negeri Porto di Pulau Saparua, berumur 47 tahun waktu pecah perang Pattimura tahun 1817. Ia disebut pula dengan nama Salemba. Pada waktu pemerintahan Inggris, dituduh membunuh Residen Inggris di Saparua. Karena itu ia ditangkap dan dibuang ke Jawa, lalu ke Madras (India). Kemudian dibebaskan dan kembali menetap di Porto. Dia diangkat oleh Pattimura menjadi raja Negeri Porto menggantikan Raja W. P. Nanlohy dan Yeremias ikut menandatangani “Proklamasi Haria” tanggal 28 Mei 1817 di Baileu Negeri Haria sebagai perwujudan tekad seluruh rakyat menentang kelaliman pemerintahan Belanda.

\Yeremias Latuihamallo alias Salemba pada akhir peperangan tertangkap. Tanggal 24 Desember 1817 diinterogasi dan pada tanggal 2 Pebruari 1818 dia dihukum mati gantung oleh Ambonsche Raad van Justitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Dia dipersalahkan menjadi penasehat utama Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dan turut bertanggung jawab atas segala peristiwa yang telah terjadi. Tetapi nasibnya agak baik. Buykes memberi keampunan kepadanya karena tidak terbukti pernah membunuh seseorang. Hukumannya diperingan menjadi hukuman pembungan ke Pulau Jawa selama 25 tahun. Yeremias Latuihamallo berangkat ke pengasingan dengan kapal perang “Wilhelmina”


THOMAS  MATULESSY/KAPITAN PATTIMURA (1783 – 1817)
 
Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura lahir di Desa Haria, Pulau Saparua pada tanggal 8 Juni 1783. Thomas Matulessy adalah seorang borgor (burger) berketurunan dari keluarga besar Matulessia (Matulessy) di Desa Haria Pulau Saparua. Pemuda Thomas Matulessy mantan Sersan Mayor dalam ketentaraan Inggris mempunyai pengalaman memimpin pasukan. Ia adalah seorang komandan dengan sifat-sifat kesatria yaitu gagah perkasa dan pemberani, postur tubuh yang tinggi, kekar dan kuat, berwatak keras namun jujur dan disiplin. Seorang Kristen Protestan yang saleh dan berperikemanusiaan.

Pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Thomas Matulessy dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia.


MARTHA  CHRISTINA  TIAHAHU (1800 –1817)

Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, gadis molek ini terkenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bahagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria disetiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan penghianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, srikandi yang berjiwa kesatria ini menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN KEMERDEKAAN NASIONAL” oleh Pemerintah Republik Indonesia.


.SULTAN  NUKU (1797 – 1805)

Muhamad Amiruddin alias Nuku adalah putra Sultan Jamaluddin (1757 – 1779) dari kerajaan Tidore. Pada tanggal 13 April 1779, dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”.  Nuku juga dijuluki sebagai “Jou Barakati” artinya Panglima Perang. Dalam zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.

Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah bangsa asing. Untuk itu Nuku berjuang tanpa mengenal istirahat sampai di hari tuanya.
Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta) dengan gubernur-gubernurnya yang ada di Ambon, Banda dan Ternate selalu berhadapan dengan “Prince Rebel” (raja pemberontak) ini yang terus mengganjal kekuasaan Kompeni (Belanda) tanpa kompromi. Mereka semua tidak mampu menghadapi konfrontasi Nuku. Nuku merupakan musuh bebuyutan yang tidak bisa ditaklukan, bahkan tidak pernah mundur selangkahpun saat bertempur melwan Belanda di darat maupun di laut.

Ia adalah seorang pejuang yang tidak dapat diajak kompromi. Semangat dan perjuangannya tidak pernah padam, walaupun kondisi fisiknya mulai dimakan usia. Kodrat rohaninya tetap kuat dan semangat tetap berkobar sampai ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805. Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa dan pengorbanannya, Pemerintah Republik Indonesia mengukuhkan Sultan Nuku sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN”


.Mr. JOHANES LATUHARHARY (1900 – 1957)


Johanes Latuharhary dilahirkan dalam satu keluarga guru pada tanggal 6 Juli 1900 di Desa Ullath Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Latuharhary dari Desa Haruku di Pulau Haruku. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Eerste Europeesche School” di Ambon tahun 1917, Johanes melanjutkan studi ke Batavia (Jakarta) dan masuk Sekolah Menengah Umum “HBS” dan tamat pada tahun 1923.
Kemudian ke Negeri Belanda dan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Pada tahun 1927 berhasil meraih gelar “Master in de Rechten”. Mr. Latuharhary adalah putera Maluku pertama yang meraih gelar Master di Universitas Leiden Negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1927, Mr. J. Latuharhary segera bekerja dan diangkat sebagai Amtenaar Fer Beschikleing van Yustitie (pegawai yang diperbantukan pada President van de Rood van Justitie (Ketua Pengadilan Tinggi di Surabaya). Di sana ia bekerja sampai tahun 1929.

Sebagai pengacara (advokat) kawakan, Mr. Latuharhary berjuang menolong rakyat kecil dalam menegakan hukum dan keadilan melawan kesewenangan pemerintah Belanda. Mr. Latuharhary kemudian terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Di Surabaya di segera aktif dalam organisasi politik “Sarekat Ambon” dan pergerakan nasional. Ide persatuan dan kemerdekaan yang dibawa dari Eropa (Belanda) dimasukkan dalam Sarekat Ambon yang kemudian dipimpinnya.

Bersama dengan para pemimpin organisasi-organisasi politik lainnya, Mr. Latuharhary dengan Sarekat Ambon membawa masyarakat Maluku ke pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia. Bersama Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Mr. J. Latuharhary kemudian diangkat menjadi Gubernur Maluku yang pertama dan berkedudukan di Yogyakarta.
Setelah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat ditumpas pada tahun 1950, Gubernur Latuharhary dan stafnya menuju Ambon dan memimpin rakyat Maluku membangun daerah. Setelah menunaikan tugas pengabdiannya di daerah yang ia cintai melalui berbagai tantangan, pada akhir tahun 1954, Mr. J.  Latuharhary menyerahkan jabatan gubernur kepada penggantinya dan kembali ke Jakarta dan memangku tugas barunya pada Kementrian Dalam Negeri. “TOKOH NASIONAL DAN PEJUANG KEMERDEKAAN” ini meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1959 di Jakarta. Sebagai penghargaan dari negara dan bangsanya, Mr. Johanes Latuharhary dihargai sebagai seorang “MAHAPUTRA INDONESIA” dan dianugerahi bintang jasa tertinggi ‘MAHAPUTRA PRATAMA”




.Dr. JOHANES LEIMENA (1905 – 1977)

 
Johanes Leimena dilahirkan dalam suatu keluarga guru, pada tanggal 6 Maret 1905 di Ambon. Ia keturunan keluarga besar Leimena dari Desa Ema di Pulau Ambon dan dikenal dengan nama panggilan “Oom Jo”. Ia seorang Kristen yang berbudi luhur. Johanes menempuh pendidikan dasarnya pada sekolah “Ambonesche Burgerchool” di Ambon dan menyelesaikannya pada sekolah ELS (Europeesche Lagere School) di Jakarta tahun 1919.

Kemudian melanjutkan ke sekolah menengah “MULO” Kristen dan tamat pada tahun 1922. Selanjutnya menempuh pendidikan tinggi pada sekolah kedokteran “STOVIA” di Jakarta dan tamat pada tahun 1930. Setelah bekerja sebagai dokter swasta, ia melanjutkan studi dan mendalami ilmu kedokteran meraih gelar Doktor pada tahun 1939.
Sejak menjadi mahasiswa, Leimena sudah aktif di kalangan nasional dan masuk organisasi politik “Sarekat Ambon”. Sejak tahun 1925 aktif dalam perkumpulan pemuda “Yong Ambon” sebagai Ketua Umum serta turut dalam persiapan “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada zaman Jepang dan revolusi kemerdekaan ia ikut berjuang dan mengabdi penuh kepada bangsa dan negara Republik Indonesia. Sebagai seorang negarawan ia duduk dalam pemerintahan, memegang berbagai jabatan di antaranya yang paling lama ialah menduduki jabatan Menteri Kesehatan RI yaitu selama delapan kali masa jabatan dan tujuh kali menjadi pejabat Presiden RI. Sikap pribadinya yang sederhana dengan Iman Kristen yang sejati dan teguh, menyebabkan ia dapat diterima oleh semua golongan. Sebagai pemimpin Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) ia selalu dapat duduk dalam berbagai kabinet karena pendiriannya untuk kepentingan negara di atas segala-galanya

Setelah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat ditumpas pada tahun 1950, Gubernur Latuharhary dan stafnya menuju Ambon dan memimpin rakyat Maluku membangun daerah. Setelah menunaikan tugas pengabdiannya di daerah yang ia cintai melalui berbagai tantangan, pada akhir tahun 1954, Mr. J.  Latuharhary menyerahkan jabatan gubernur kepada penggantinya dan kembali ke Jakarta dan memangku tugas barunya pada Kementrian Dalam Negeri. “TOKOH NASIONAL DAN PEJUANG KEMERDEKAAN” ini meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1959 di Jakarta. Sebagai penghargaan dari negara dan bangsanya, Mr. Johanes Latuharhary dihargai sebagai seorang “MAHAPUTRA INDONESIA” dan dianugerahi bintang jasa tertinggi ‘MAHAPUTRA PRATAMA”


.Ir. MARTINUS  PUTUHENA (1901 – 1982)

Martinus Putuhena dilahirkan dalam suatu keluarga nelayan pada tanggal 27 Mei 1901 di Desa Ihamahu Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Putuhena dari Desa Ihamahu di Pulau Saparua. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Saparoeasche School” di Saparua tahun 1916, ia melanjutkan studi ke sekolah menengah yaitu “MULO” di Tondano (Minahasa) dan tamat pada tahun 1919.
Kemudian melanjutkan ke AMS Jurusan B di Jogyakarta dan lulus pada tahun 1929. Sesudah itu ia ke Bandung dan berkuliah di Technese Hoge School (THS) yaitu Sekolah Tinggi Teknik (Pendahulu ITB), lulus tahun 1927 dan menyandang gelar Insinyur Sipil. Putuhena adalah putera Maluku (Ambon) pertama alaumnus THS Bandung.

Ir. Martinus Putuhena memulai kariernya dengan bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga di Bandung dan kemudian bertugas diberbagai tempat antara lain di Jakarta, Purwakerto, Curebon. Menjelang Perang Dunia II bertugas ke Lombok sebagai Kepala Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga. Dimasa berkuliah di Bandung, Putuhena mulai berkenalan dengan politik dan sangat dekat dengan Bung Karno teman yang karib. Ia pun menjadi anggota “Algemeene Studie Club” yang didirikan tahun 1925 dan selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan politik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pada zaman Jepang, Ir. Martinus Putuhena sering dipenjara dan nyaris terbunuh karena tuduhan menentang kekuasaan Jepang. Setelah kembali bertugas ke Jakarta, Putuhena segera terlibat dalam revlusi kemerdekaan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan pembentukan pemerintahan negara Indonesia, Ir. Martinus Putuhena sampai tiga kali menjabat Menteri Pekerjaan Umum. Selama revolusi kemerdekaan, ia bertugas sesuai dengan profesinya, dan dalam kegiatan-kegiatan politik selalu bersama dengan Dr. J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary. Tugas penting dan berat yang dipercayakan kepadanya dalam rangka perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melikuidasi NIT (Negara Indonesia Timur) dan menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Misi diplomasinya berhasil dengan baik pada waktu ia menjabat Perdana Menteri NIT dn menjadi anggota dari Panitia Perundingan dengan RMS dipimpin Dr. J. Leimena.

Sesudah melewati purna bakti, Ir. Martinus Putuhena masih tetap mengabdi pada masyarakat. Tokoh nasional dan pejuang ini meninggal dunia pada tanggal 20 September 1982 di Jakarta. Pemerintah RI dan bangsa Indonesia menghargainya sebagai salah seorang “MAHAPUTERA INDONESIA” dan dianugerahi bintang jasa tertinggi “MAHAPUTERA UTAMA”


Prof. Dr. GERRIT  A.  SIWABESSY (1914 – 1981)

Gerrit A. Siwabessy dilahirkan dalam suatu keluarga petani dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga guru pada tanggal 19 Agustus 1914 di Desa Ullath Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Siwabessy dari Desa Ullath di Pulau Saparua. Setelah menamatkan pendidikan dasar, kemudian ke sekolah menengah MULO di Ambon dan tamat tahun 1931. Selanjutnya melanjutkan studi ke sekolah kedokteran NIAS di Surabaya. Tahun 1942 memperoleh ijazah dokter dan dalam tahun yang sama ditempatkan pada rumah sakit Siampang di Surabaya, mengepalai bagian radiologi sampai tahun 1945.

Pada zaman Jepang, ia dianiaya dan nyaris meninggal. Selain tugas pokok pelayanan kesehatan, ia mengurus pula para pengungsi orang-orang Maluku. Pada masa perang kemerdekaan, Siwabessy dengan pemuda Maluku turut berjuang dalam pertempuran Surabaya melawan tentara Inggris dan Belanda. Ia menjadi anggota Komite Nasional Daerah dan menghimpun pemuda Maluku dalam oraganisasi PRIM (Pemuda Republik Indonesia Maluku). Kemudian dibentuk “Devisi Pattimura” dan Siwabessy kepala stafnya. Bersama Mr. J. Latuharhary dan Dr. J. Leimena, memimpin masyarakat Maluku di Jawa dalam revolusi kemerdekaan. Pada tahun 1949 melanjutkan studi ke Inggris (London) dan mendalami bidang Radiologi dan Kedokteran Nuklir di London University.
Kembali ke Indonesia tahun 1962 diangkat sebagai Kepala Bagian Radiologi (Ilmu Sinar) pada rumah sakit pusat RSCM. Kemudian Dr. Siwabessy merintis pembinaan di bidang radiologi antara lain : mendirikan Sekolah Asisten Rontgen di RSCM, melatih para dokter penyakit paru-paru, mengatur dan membina kegiatan-kegiatan klinis dalam bidang radiologi di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Dr. Siwabessy kemudian diangkat sebagai Kepala Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan dan juga menjadi ketua dari Panitia Penyilidikan Radioaktivitas dan Tenaga Atom. Pada tahun 1954 didirikanlah Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Siwabessy menjadi direkturnya.

Pada tahun 1956a, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Radiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Prof. Dr. G. A. Siwabessy juga mengepalai Tim Dokter Kepresidenan. Pada Kabinet Pembangunan ia menjadi Menteri Kesehatan selama dua periode. Prof. G. A. Siwabessy juga mempunyai reputasi internasional dalam bidang keahliannya. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1981. Tokoh nasional dan “Bapak Atom” Indonesia ini dihargai jasa-jasa dan pengabdiannya oleh Pemerintah RI dan bangsa Indonesiaa sebagai seorang MAHAPUTERA INDONESIA yang besar dan dianugerahi bintang tertinggi yaitu “BINTANG MAHAPUTERA UTAMA”


Dr. JACOB  BERNADUS  SITANALA (1889 – 1958)

Jacob Bernadus Sitanala dilahirkan dalam suatu keluarga pengusaha kecil pada tanggal 18 Septemaber 1889 di Kayeli Pulau Buru. Ia keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Ambonsche Burger School” di Ambon dan pendidikan menengah MULO pada tahun 1904, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu “STOVIA” di Jakarta. Pada tahun 1912 Jacob berhasil memperoleh ijazah dokter dan ditempatkan diberbagai tempat di Indonesia. Karena prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, ia mendapat tugas belajar ke negeri Belanda tahun 1923 dan mendalami Ilmu Penyakit Kusta (Lepra). Pada tahun 1926 berhasil memperoleh diploma “Nederlandsche arts”, dan pada tahun 1927 mendapat gelar Doktor dan Guru Besar dalam ilmu Penyakit Kusta. Setelah kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai ahli penyakit kusta, Dr. Sitanala diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia.

Sitanala adalah ahli penyakit kusta yang pertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan penyakit kusta, ia dikenal pula di dunia internasional karena karya-karya ilmiah hasil penelitian dan metode baru pengobatan penyakit kusta yang ia kembangkan. Untuk itu raja kerajaan Swedia berkenan memberikan bintang kehormatan tertinggi “Wasa Orde” yang setaraf dengan “Nobelprijs” (Hadiah Nobel) kepadanya dan juga sebuah bintang jasa dari perkumpulan Sarjana-Sarjana Internasional dalam bidang kesehatan.
Dr. J. B. Sitanala terkenal pula sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan Indonesia. Selama studi di negeri Belanda menjabat wakil ketua “Perhimpunan Indonesia”, sangat aktif dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Menjadi penasehat dari organisasi politik “Sarekat Ambon”. Perasaan nasionalismenya sangat tinggi dan terlihat dalam usaha-usaha untuk membela rakyat kecil yang diperlakukan tidak manusiawi dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan, juga menentang ras diskriminasi di kalangan profesi kedokteran.

Dr. J. B. Sitanala dikenal pula sebagai salah seorang pendiri Palang Merah Indonesia. Setelah bertugas ke Ambon pada tahun 1947, masih tetap mengabdi sepanjang hayatnya. Beliau meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1958, dan oleh Pemerintah RI dihargai sebagai “PERINTIS KEMERDEKAAN” dan tokoh nasional yang besar


dr. MELKIANUS  HAULUSSY (1902 – 1983)

Melkianus Haulussy dilahirkan dalam suatu keluarga petani pada tanggal 20 Mei 1902 di Desa Ihamahu Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Haulussy dari Desa Ihamahu diPulau Saparua. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Saparoeasche School” di Saparua tahun 1921, Melkianus melanjutkan studi ke Surabaya dan memasuki sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Aartsens School) dan tamat pada tanggal 4 Mei 1932. Sebagai dokter muda, pertama kali ditempatkan pada rumah sakit CBZ Surabaya bagian penyakit dalam. Kemudian dipindahkan ke Medische Propaganda di Jogyakarta sampai tahun 1935.
Pada tahun 1935 pindah ke Saparua sebagai dokter Pemerintah dan tahun 1936 ke Flores sampai 1940. Sesudah itu ke Surabaya dan Bandung dengan tugas khusus memberantas penyakit malaria dan penyakit pes. September tahun 1940, dr. Melkianus Haulussy dipindahkan sebagai Wakil Insperktur Kesehatan Jawa Barat. Dalam revolusi kemerdekaan beliau memimpin delegasi Kesehatan Jawa Barat untuk berunding dengan Belanda. Juga menjadi dokter pada Resimen Pattimura Jawa Barat.

Dalam pengembangan kariernya dokter Haulussy pindah ke Jogyakarta dan diangkat menjadi Kepala Obat-Obatan Kementrian Kesehatan RI dari tahun 1947 – 1951. Setelah pengakuan kemerdekaan beliau dipindahkan ke Amahai (Pulau Seram tahun 1951) dan di detasir ke Makassar tahun 1952, kemudian dipindahkan lagi Jogyakarta. Beberapa bulan sesudah itu pada tahun 1952, kemudian dipindahkan ke Maluku sebagai Pimpinan Pemberantasan Penyakit Kusta dan ditempatkan di Saparua.
Tahun 1954 dr. Haulussy diangkat menjadi Inspektur Kesehatan Propinsi Maluku dan ditunjuk sebagai tenaga yang diperbantukan pada Jawatan Kesehatan Resimen Infantri 25 di Ambon. Tanggal 4 Oktober 1958 beliau memasuki masa pensiun, namun pada tanggal 20 Mei 1960 diangkat kembali oleh Departemen Kesehatan RI sebagai pegawai bulanan pada RST Kodam Maluku dan Irian Barata di Ambon. Pada tanggal 22 Juli 1960 dengan SK Kepala Staf Angkatan Darat diperbantukan pada Kesdam XV Maluku – Irian Barat di Ambon.
Dokter Haulussy terkenal pula sebagai tokoh pendiri Universitas Pattimura Ambon. Beliau adalah Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Maluku dan Irian Barat yang merupakan embrio dari perguruan tinggi ini dan memperjuangkannya menjadi universitas negeri tahun 1962. Di samping tugas-tugasnya sebagai dokter dan pengabdi pendidikan, beliau juga menekuni membuat obat tradisional dengan nama “sepahit” yang dapat dijangkau oleh rakyat kecil dengan harga yang murah untuk berbagai jenis penyakit.
Sebagai pejuang kemerdekaan, dr. Haulussy turut dalam perebutan kekuasaan dari Jepang di Majalengka, turut bergerilya dengan paa pejuang di Jawab Barat dan Jogyakarta. Atas jasa-jasanya itu maka oleh Pemerintah Republik Indonesia beliau dianugerahi bintang “SATYA LENCANA KEBAKTIAN SOSIAL”. Pejuang dan pengabdi bangsa dan kemanusiaan ini meninggal di Ambon pada tanggal 27 Juli 1983 dalam usia 81 tahun


ELIZA URBANUS PUPELLA (1910 – 1996)

Eliza Urbanus Pupella dilahirkan dari suatu keluarga guru pada tanggal 24 April 1910 di Desa Hila Pulau Ambon. Ia keturunan dari keluarga Pupella di Desa Amahusu Pulau Ambon. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Europeesche Lagere School” di Ambon, Eliza melanjutkan studinya ke Makassar (Ujung Pandang) dan masuk sekolah “MULO”. Setelah tamat belajar di MULO, Eliza langsung bekerja pada perusahaan minyak pelumas Belanda (BPM). Jiwa nasionalisme yang diwarisi dari ayahnya mendorong ia segera terjun ke dunia politik dan aktif dalam zaman pergerakan nasional. Ia mulai aktif di organisasi “Yong Ambon” dan “Sarekat Ambon” dan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pupella dipecat pemerintah Belanda dan pindah ke Bali tahun 1930. Di Bali ia aktif lagi dengan teman-teman seperjuangan di sana dan dipecat lagi. Tahun 1933 kembali ke Makassar, kemudian pada tahun 1934 ke Jogyakarta dan belajar di Perguruan Nasional “Taman Siswa” yang dipimpin Ki Hajar Dewantara. Setelah kembali ke Ambon, Pupella mendirikan “Balai Pendidikan” yang berazas nasionalisme seperti Taman Siswa. Di Ambon ia kembali aktif dalam bidang politik dan memimpin organisasi politik “Sarekat Ambon” cabang Ambon, dan berjuang dengan rekan-rekannya di lembaga “Ambon Raad” melawan organisasi-organisasi sosial dan politik yang pro Belanda.
Pada zaman pendudukan Jepang, Pupela diangkat oleh pemerintah militer Jepang untuk mengatur masyarakat Ambon karena ia mempunyai wibawa baik terhadap masyarakat Kristen maupun Islam. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Pupella meneruskan perjuangan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan rekan-rekannya ia berjuang di Ambon dan Makassar. Sebagai anggota Parlemen NIT (Negara Indonesia Timur) ia terkenal sebagai tokoh yang melikuidir “Negara Bagian” ini ke dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian Elisa Urbanus Pupella menjadi anggota Parlemen RIS dan DPR Ri (1950 – 1956) mewakili rakyat Maluku. Wadah perjuangannya adalah organisasi politik PIM (Partai Indonesia Merdeka) dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Pada usia lanjutnya, Bapak E. U. Pupella masih tetap mengabdi pada masyarakat sebagai seorang wiraswasta. Pupella meninggal dunia pada tanggal 16 Agustus 1996 di Ambon, karena jasa-jasa dan pengabdiannya ia dihargai dan diakui sebagai “ TOKOH PEJUANG DAN PERINTIS KEMERDEKAAN INDONESIA”


ALEXANDER  JACOB  PATTY (1901 – 1957)

Alexander Jacob Patty lahir pada tanggal 15 Agustus 1901 di Desa Nolloth Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Patty di negeri Nolloth Pulau Saparua. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya pada “Saparoeasche School” di kota Saparua, Alex melanjutkan studinya ke Surabaya dan memasuki sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsche Indische Aartsens School). Baru pada tingkat pertama Alex sudah dikeluarkan dari sekolah karena sifat dan tingkah lakunya yang ekstrim. Ia tidak senang dengan Pemerintah Belanda karena politik diskriminasi terhadap kaum militer Ambon dalam KNIL.

Pada tahun 1919, Alex pindah ke Semarang dan mulai aktif dalam dunia kewartawanan. Pertama kali mendirikan Perkumpulan Kemakmuran Rakyat Ambon (Maluku). Kemudian karena perkembangan gerakan kebangsaan, organisasi yang bersifat sosial ini ditinggalkan oleh Patty dan mendirikan organisasi baru yang bersifat politik yaitu “Sarekat Ambon” pada tanggal 9 Mei 1920 dan membawa ide organisasi ini ke dalam ide Nasionalis Indonesia. Pada tahun 1922, A. J. Patty masuk dalam “Radikale Consentratie” (gabungan partai radikal). Sifat-sifat radikal dan revolusioner Patty, ditentang oleh para rekannya dari “Ambonsche Studie Fonds”, namun ia tetap membawa Sarekat Ambon dalam semangat kebangsaan Indonesia. Ide Sarekat Ambon terus disiarkan melalui majalah Mena Muria dan di kota-kota besar di Jawa dibuka cabang Sarekat Ambon.
Sarekat Ambon juga mempunyai bagian khusus untuk wanita, yaitu organisasi “Ina Tuni”. April 1923, A. J. Patty memperkenalkan ide Sarekat Ambon kepada masyarakat Ambon. Sesuai kondisi didirikan dahulu suatu Komite Sarekat Ambon dan A. J. Patty segera berkeliling ke negeri-negeri mempropaganda ide Sarekat Ambon. Tahun 1924, Patty berhasil dipilih sebagai anggota Ambon Raad dan di lembaga perwakilan ini ia mulai memperjuangkan nasib rakyat, namun politiknya ditentang keras oleh para raja, yaitu “Regenten Bond”. Ia dituduh berbahaya oleh pemerintah, padahal rakyat sangat simpatik pada Sarekat Ambon. Karena dituduh melanggar hukum (adat) dan menghasut rakyat, ia ditangkap dan ditahan oleh Asisten Residen. Kemudian dibawa ke Makassar dan diadili oleh “Raad van Justitie”. Setelah dihukum, tahun 1942, Patty diringkus ke Bengkulu (Suamatera) kemudian ke Boven Digul (Irian Jaya) sampai pecah Perang Dunia II. Pada masa Jepang, dapat meloloskan diri ke Australia dan pada masa revolusi kemerdekaan, berjuang bersama Bung Karno dalam mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan RI. Alexander Jacob Patty meninggal dunia di Badung pada tanggal 15 Juli 1947. Tokoh pejuang ini dihargai sebagai seorang “PERINTIS dan PEJUANG KEMERDEKAAN”


ABDUL  MUTHALIB  SANGAJI

Abdul Muthlib Sangaji lahir di keluarga besar Sangaji dari Pulau Haruku. Menamatkan pendidikan dasar pada Sekolah Belanda HIS dan pendidikan menengah MULO. Abdul Muthlib Sangaji tidak lagi melanjutkan studi lebih tinggi dan segera terjun dalam dunia politik. Ia masuk organisasi politik “Sarekat Islam” (SI) dan bergabung dengan kedua tokoh politik SI, yaitu Haji Agus Salim dan H. O. S. Tjokroaminoto.
Di SI Abdul Muthlib Sangaji terkenal sebagai juru pidato yang ulung dalam menggerakkan semangat perjuangan kemerdekaan. Setelah H. O. S. Tjokroaminoto meninggal dunia, maka Sarekat Islam mulai retak. Abdul Muthlib Sangaji dan Agus Salim mengundurkan diri dan mendirikan Penyadar sebagai suatu partai baru.
Partai baru ini diperkuat tokoh-tokoh muda seperti Sarjan dan Mohammad Roem. Abdul Muthlib Sangaji kemudian pindah ke Makassar dan Samarinda (Kalimantan). Di kedua tempat ini ia terus mengobarkan semangat perjuangan dan pidato-pidatonya dinilai pemerintah Belanda sangat berbahaya.
Ia ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian dilepaskan dari penjara dan ikut lagi dalam perjuangan para revolusi fisik. Bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya, Abdul Muthlib Sangaji pindah ke Jogyakarta dan berjuang di sana. Di ibukota perjuangan ini, ia meninggal sebagai seorang pejuang dan pemerintah RI menghargai jasa-jasanya sebagai salah seorang “PERINTIS KEMERDEKAAN”


WILLEM  JOHANNES  LATUMETEN (1916 – 1965)


Willem Johanes Latumeten lahir tanggl 16 April 1916 di Saparua. Ia keturunan keluarga besar Latumetena dari Desa Rutong di Pulau Ambon dan adalah putera sulung dari Prof. DR. Y. A. Latumeten, tokoh pejuang dan ahli penyakit jiwa. Pendidikan ELS di Sabang tahun 1930, HBS di Malang tahun 1937, Geneeskundige Hogeschool  (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta.

Pengabdian beliau dimulai sejak zaman revolusi fisik sampai pengisian kemerdekaan, baik di Kementrian Penerangan maupun di Departemen Olahraga ataupun sebagai Pembina Olahraga. Mulai bekerja pada Kementrian Penerangan Jakarta permulaan tahun 1946. Pertengahan tahun 1947 memimpin surat kabar “Het Nieuws Blad”. Selaku Kepala Pewartaan / Press Service  Kemper RIS mulai tahun 1950 dan merangkap juru bicara Departemen Penerangan.
Pada zaman RI menjadi Kepala Bagian Pewartaan Kementrian Penerangan merangkap Juru Bicara. Pada tahun 1958 diperbantukan pada Menteri Penerangan dan tahun 1962 ditugaskan ke Departemen Olahraga sebagai Pembantu Khusus Menteri Olahraga.
Usaha-usahanya sebagai pembina olahraga antara lain  :  mendirikan Sekolah Tinggi Olahraga di Jakarta, membentuk keorganisasian olahraga (PERBASI), membina para atlet untuk terjun ke ASEAN GAMES IV yahun 1962 dan GANEFO tahun 1963, menjadi Sekretaris Umum Komite Olympiade Indonesia Pusat (1955 – 1964). Willem Johanes Latumeten adalah juga seorang pejuang dan nasionalis sejati. Dalam perundiangan antara Indonsia dengan Belanda, sering bertindak sebagai juru bicara delegasi Indonesia. Willem Johanes Latumeten meninggal dunia 23 Maret 1965, dan sebagai pahlawan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta. Karena jasa-jasa dan pengabdiannya, ia dianugerahi pemerintah “LENCANA BAKTI dalam
Purnawirawan Kolonel Infantri Herman Pieter lahir di Ambon tanggal 12 Desember 1924 dari keluarga besar Pieters di Desa Eri (Nusaniwe) Pulau Ambon. Pendidikan yng diraihnya adalah Sekolah Teknik Elektro di Surabaya dari tahun 1939 – 1942. Kemudian pada tahun 1954 sampai tahun 1955 dan tahun 1961 sampai 1962 mengikuti Sekolah Staf Pimpinan Angkatan Darat.
Karier beliau sebagai seorang militer dan seorang pejuang dapat dicatat sebagai berikut  :

§    Asisten Gubernur Militer pada komperensi Linggarjati dan Komperensi Renville antara Indonesia dan Belanda (1945 – 1948) dan sekaligus Perwira Penghubung membantu Perdana Menteri Sultan Syahrir. Ikut dalam perang gerilya melawan Belanda di Jawa Timur (Surabaya dan Malang) dalam Divisi Pattimura.

§    Anggota Panitia Pertimbangan Gencatan Senjata dengan Belanda di Malang, Mojokerto dan Surabaya (1948 – 1949) dan Panitia Militer Negara Indonesia Timur di Makassar.

§    Menumpas Pemberontakan Andi Azis di Makassar dan RMS di Maluku (1950 – 1953), kemudian menjadi Asisten Komandan Teritorium VII dan Perwira Peradilan Pengadilan Militer di Ambon (1953 – 1956).

§    Komandan Residen Infantri 25 Maluku dan Daerah Militer Maluku dan Irian Barat (1956 – 1957) dan Komandan Kodam XV Pattimura (1957 0 1959). Tahun 1958 menjabat Perwira Hakim pada Pengadilan Daerah Militer di Makassar.

§    Aisten D-II dari Kepala Staf Angkatan Darat (1961 – 1962). Tahun 1963 pensiun Angkatan Darat (ABRI)a dan menjadi Presiden Direktur PT. Kora-Kora.

§    Anggota MPR RI dari Golkar tahun 1977 dan 1983 – 1987.

Meninggal dunia tahun 1998 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tanda jasa dan penghargaan dari negara antara lain  :  BINTANG GERILYA, BINTANG SETYA LENCANA AKSI MILITER I dan II, BINTANG SETYA LENCANA SAPTA MARGA, BINTANG SETYA LENCANA KESETIAAN, BINTANG MEDALI GARUDA I / MESIR, BINTANG SEWINDU, BINTANG GOM II, III dan IV


KAREL SADSUITUBUN (1928  1965)

Karel Satsuitubun lahir di Ramadian (Tual) Maluku Tenggara tanggal 14 Oktober 1928. Ia bersekolah pada SD Kristen Katolik sejak tahun 1935 dan tamat tahun 1941. Sejak kecil ia telah anti Belanda karena ketidakadilan terhadap pamannya seorang mantan tentara KNIL, dan hal inilah yang mendorongnya memasuki dinas Angkatan Kepolisian Republik Indonesia.
Pada tahun 1951 setelah diterima menjadi anggota kepolisian, ia bertugas di Ambon. Dalam kariernya sebagai anggota kepolisian (Brigade Mobile) ia pernah bertugas di Ambon, Sulawesi, Sumatera, Yogyakarta dan Irian jaya. Di Ambon setelah bertugas, Karel mengikuti Sekolah Polisi Mobile Brigade (SPMB) Megamendung (Bogor). Kemudian mengikuti Latihan Penyegaran I di Ambon dalam rangka menumpas RMS. Dua kali ditugaskan di Sumatera Utara (Aceh) dalam menumpas pemberontakan DI / TII yang dipimpin oleh Daud Beureeh. Kemudian di Sulawesi menumpas DI / TII yang dipimpin Kahar Muzakark. Dua kali ditugaskan di Sumatera Barat menumpas pemberontakan PRRI. Kemudian ditugaskan di Irian Barat (Trikora) untuk pembebasan wilayah ini dari penjajahan Belanda. Juga bertugas dalam pengamanan GANEFO I Jakarta. Terakhir ditugaskan selaku pengawal rumah kediaman Waperdam II Dr. S. Leimena. Di sinilah Karel Satsuitubun gugur karena serangan gerombolan penculik G 30S PKI. Karel gugur sebagai seorang patriot dan pahlawan. Dan pemerintah menghargainya dengan menganugerahi bintang “REPUBLIK INDONESIA KELAS III” dengan gelar “PAHLAWAN REVOLUSI”.

Posting Terkait





Artikel Terkait:

Views

Tidak ada komentar:

Posting Komentar